Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyesal mengenai kemarahan masyarakat atas Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
"Dengan kemarahan ini, saya pikir saya menyesal betul," katanya Kamis (6/6).
Karena itu, dia mengaku legowo jika misalnya program itu diundur. Kelegowoan katanya, juga sudah dinyatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asalkan, dorongan mengundur program itu disampaikan oleh DPR sesuai dengan sistem nan ada. Basuki mengatakan Program Tapera dilaksanakan pemerintah dengan dasar norma UU Tabungan Perumahan Rakyat nan disahkan pemerintah dan DPR pada 2016 lalu.
"Sebetulnya itu dari 2016 uu-nya, Ibu Menkeu memupuk dulu kredibilitasnya. ini malah kepercayaan.... Sehingga kita undur sampai 2027. Menurut saya pribadi, jika memang belum siap, kenapa kita kudu tergesa-gesa," katanya.
"Jadi jika ada usulan DPR misialnya untuk diundur, saya sudah kontak dengan Bu Menkeu, kita bakal ikut," katanya.
Pemerintah bakal mewajibkan pekerja baik berdikari maupun swasta ikut menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat mulai Mei 2027. Sebagai akibat keikutsertaan menjadi peserta itu, mereka kudu bayar iuran 3 persen dari gaji.
Iuran itu; 0,5 persen dibayar pengusaha sementara 2,5 persen lainnya dipotong dari penghasilan pekerja setiap tanggal 10.
Infog Poin-poin Penting PP Tapera. (Basith Subastian/CNNIndonesia).
Program tersebut mendapat kritik dari tak hanya pekerja tapi juga pengusaha.
Ketua Umum Konfederasi KASBI Sunarno mengatakan serikat pekerja tidak pernah diajak perbincangan oleh pemerintah untuk membahas Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
"Sangat jelas pemerintah memutuskan patokan tersebut secara sepihak. Prinsip kewenangan berdemokrasi dan musyawarah justru tidak dilakukan," kata Sunarno saat dihubungi, Selasa (28/5).
Ia menilai pemerintah terlalu gegabah membikin PP 21. Padahal, kata dia, pemerintah tidak memahami kebanyakan kesulitan nan dihadapi kaum pekerja selama ini.
Sunarno menyinggung soal bayaran rendah, status kerja rentan dan mudah di PHK, pemberangusan serikat buruh, maraknya sistem kerja outsourcing hingga K3 nan buruk.
Ia juga mengatakan potongan-potongan penghasilan pekerja saat ini sudah sangat besar. Tidak sebanding dengan besaran kenaikan bayaran pekerja nan dinilai sangat kecil.
"BPJS Kesehatan 1 persen, Jaminan Hari Tua 2 persen, Jaminan Pensiun 1 persen, PPH 21 (take home pay) 5 persen dari PTKP, potongan koperasi, dan lain-lain. Ditambah Tapera 2,5 persen dari buruh. Sehingga jika bayaran pekerja 2 juta sampai 5 juta/bulan. Maka potongan bayaran pekerja bisa mencapai Rp250 ribu-Rp400 ribu per bulan," katanya.
Sunarno juga menilai potongan tapera sudah jelas membebani buruh, mengingat pekerja juga tidak langsung mendapatkan rumah dalam waktu cepat.
Ia mengatakan Pemerintah semestinya konsentrasi untuk pengadaan rumah bagi pekerja dari anggaran negara. Bukan malah memotong penghasilan pekerja nan mini tersebut sebagai modal investasi.
[Gambas:Video CNN]
KASBI pun meminta PP nan mengatur soal tapera itu untuk dicabut
"Kami mencurigai pemotongan penghasilan untuk Tapera tersebut hanyalah modus politik untuk kepentingan modal politik dan kekuasaan rezim oligarki," katanya.
Segendang sepenarian dengan buruh, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tegas menolak Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), apalagi sampai 'memaksa' pekerja swasta menjadi peserta.
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menegaskan apalagi sejak awal munculnya UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Apindo dengan tegas keberatan diberlakukannya patokan tersebut.
"Tabungan Perumahan Rakyat, Apindo dengan tegas keberatan diberlakukannya UU tersebut," bunyi pernyataan resmi nan dikeluarkan Shinta, Selasa (28/5).
Karena itu, dia meminta pemerintah kembali mempertimbangkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) nan ditetapkan pada 20 Mei 2024.
Desakan itu dia suarakan lantaran Tapera tidak diperlukan. Menurutnya, untuk membantu pembiayaan perumahan bagi rakyat, pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan biaya potongan BPJS Ketenagakerjaan nan selama ini sudah dipotong dari penghasilan pekerja.
"Pemerintah diharapkan dapat lebih mengoptimalkan biaya BPJS Ketenagakerjaan," ujar Shinta.
(fby/agt)