Pengamat: BHP Starlink harus Dievaluasi untuk Tingkatkan Iklim Telekomunikasi dan PNBP Negara

Sedang Trending 4 bulan yang lalu

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan soal operator telekomunikasi nasional nan tak bisa berkompetisi dengan Starlink, dinilai Pengamat Telekomuniasi Agung Harsoyo kurang bijak.

Ia menilai perusahaan telekomunikasi nasional sejatinya tak anti dan siap berkompetisi dengan perusahaan besutan Elon Musk tersebut.

Namun, saat ini kondisi perusahaan telekomunikasi di Indonesia sedang tak sehat lantaran mereka tetap menanggung beban izin (regulatory charges) nan sangat tinggi.

"Saat ini regulatory charges di industri telekomunikasi lebih dari 15%. Padahal periode pemisah sehatnya kurang dari 8%," ujar Agung melalui keterangannya, Selasa (18/6/2024).

Dosen STEI ITB itu menilai, jika Luhut mau operator telekomunikasi dapat berkompetisi, harusnya industrinya disehatkan terlebih dahulu.

"Asosiasi telekomunikasi sudah mengusulkan skema dan program untuk menyehatkan industri, tapi sampai saat ini belum ada respons positif dari pemerintah. Dengan kewenangan nan saat ini dimiliki, Luhut harusnya dapat membantu penyehatan industri dengan menurunkan beban regulatory charges nan besar,” imbaunya.

Agung menuturkan, saat ini Starlink hanya dikenakan regulatory charges sangat rendah. Kominfo hanya mengenakan Biaya Hak Penggunaan Izin Stasiun Radio (BHP ISR) satelit ke Starlink.

Jumlah BHP ISR nan dikenakan Kominfo ke Starlink juga hanya dihitung satu unit satelit dengan nilai maksimal Rp 2 miliar per tahun.

"Padahal satelit Starlink nan memancar di Indonesia lebih dari 200 unit. Sedangkan untuk BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) nan ditanggung operator selular dan dibayarkan ke kas negara tahun 2023 mencapai Rp 21,1 triliun," ungkap komisioner BRTI periode 2018–2021 tersebut.

* Follow Official WA Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Agung berpendapat, pemerintah harusnya bisa mengenakan BHP berasas jumlah satelit nan memancar di Indonesia. Sebab, saat ini operator satelit nasional dikenakan BHP ISR berasas jumlah kepemilikan satelitnya.

Jika operator mempunyai dua satelit, mereka kudu bayar BHP ISR sebanyak satelit nan dimiliki, sehingga perubahan kalkulasi BHP ISR Starlink nantinya dinilai Agung dapat meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menciptakan suasana persaingan usaha.

Perubahan metode kalkulasi berasas satelit Starlink nan memancar ini mirip pemerintah nan memungut PNBP sektor transportasi udara berasas jumlah pesawat nan melintas di Indonesia--bukan per perusahaan penerbangan.

Jika metode BHP ISR dihitung per satelit nan beraksi di Indonesia, kontribusi Starlink bagi PNBP sektor telekomunikasi sangat signifikan.

“Bila nantinya mereka menyelenggarakan direct to cell, harusnya pemerintah dapat mengenakan Starlink dengan BHP IPFR layaknya operator selular. Dengan kewenangan nan miliki, saya percaya Luhut bisa membikin izin NGSO (Nongeostasioner) nan berkeadilan," ujar Agung.

Agung menambahkan, pembuatan izin NGSO ini sejalan dengan visi misi Presiden Joko Widodo dan Luhut nan menginginkan investasi Starlink di Indonesia dapat berkontribusi signifikan bagi pendapatan negara.

Selain beban regulasi, persoalan dalam menyediakan jasa internet di Indonesia nan perlu dilihat Luhut adalah sulitnya akses nan disebabkan mahalnya biaya penggelaran jaringan serat optik.

Agung mengatakan, kondisi geografis Indonesia nan kepulauan dan gunung membikin ongkos penggelaran fiber optik di Indonesia mahal.

“Agar tak ada tumpeng tindih penyediaan jaringan internet di Indonesia, harusnya Luhut menempatkan Starlink sebagai penyedia akses bagi operator telekomunikasi nan hendak menyediakan jasa di wilayah nan lokasinya menantang," dia menyarankan.

Agung mengimbau, harusnya Starlink diposisikan sebagai penyedia backbone nan nantinya bakal dipakai pengusaha internet service provider (ISP) nan belum mempunyai fiber optik.

"Menurut saya ini solusi nan menguntungkan bagi masyarakat maupun industri telekomunikasi,” dia memungkaskan.

Sebelumnya, XL Axiata meminta pemerintah untuk memberlakukan patokan nan setara jika Starlink menggelar jasa langsung ke konsumen (B2C).

Pasalnya, saat ini Starlink mulai menjajaki jasa direct to cell alias menjual langsung jasa internet ke smartphone, alih-alih hanya menyediakan prasarana ke pelanggan business to business (B2B) dan pengguna rumah. 

Group Head Corporate Communications & Sustainability XL Axiata, Reza Mirza mengatakan, layanan direct-to-cell sama seperti penjualan langsung ke konsumen (B2C).

Untuk itu, XL mengharapkan pemerintah menerapkan patokan dan tanggungjawab nan setara bagi Starlink dengan tanggungjawab nan dijalankan perusahaan telekomunikasi Indonesia.

"Untuk direct-to-cell (Starlink), kami berharap pemerintah juga menerapkan level playing field yang sama. Kami mendorong, memohon ke pemerintah agar Starlink setidaknya melakukan kerja sama dengan penyelenggara seluler alias operator, jadi tidak (jualan layanan) direct ke end user," kata Reza, ditemui di Jakarta, Rabu (5/4/2024).

Reza mengatakan, pihaknya memandang teknologi internet berbasis satelit low-earth-orbit seperti Starlink merupakan teknologi baru nan semestinya bisa dikolaborasikan dengan perusahaan telkomunikasi eksisting.

"Karena kalau direct ke end user itu dampaknya besar ke industri (telekomunikasi)," katanya.

XL Axiata sendiri telah aktif menyuarakan pandangannya tentang layanan Starlink ke pengguna melalui Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Saat ini, ATSI nan beranggotakan perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia tengah menunggu pengarahan dari pemerintah mengenai perihal ini.

Meski mempunyai keberatan tentang kehadiran layanan langsung Starlink ke pelanggan, XL Axiata terbuka untuk kerja sama business to business dengan Starlink sebagai penyedia jasa internet berbasis satelit.

"Kami terbuka untuk kerjasama dengan Starlink tetapi konkretnya seperti apa, tetap belum. Kami terbuka untuk kolaborasi B2B," dia menuturkan.

* Fakta alias Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran info nan beredar, silakan WA ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci nan diinginkan.

Seorang laki-laki mencoba headset VR realitas campuran Meta Quest 3 selama pameran startup dan penemuan teknologi Vivatech, di pusat pameran Porte de Versailles di Paris, pada 22 Mei 2024. (JULIEN DE ROSA/AFP)
Sumber liputan6.com teknologi
liputan6.com teknologi