Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah bakal menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan.
Kenaikan mereka jalankan dengan dalih menjalankan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam beleid itu, pemerintah dan DPR memang menetapkan PPN naik jadi 11 persen mulai 2022 dan menjadi 12 persen mulai 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tarif PPN ialah sebesar 12 persen nan mulai bertindak paling lambat pada 1 Januari 2025," tulis Pasal 7 ayat 2 UU tersebut.
Rencana kenaikan itu pun memantik reaksi keras dari sejumlah kalangan. Meskipun itu sudah menjadi petunjuk undang-undang, mereka memandang bahwa kenaikan berpotensi mencekik masyarakat nan sekarang ini tengah tercekik daya belinya.
Reaksi keras salah satunya disuarakan oleh kalangan buruh. Mereka sudah mengeluarkan ancaman jika pemerintah tak membatalkan rencana kenaikan itu, mereka bakal melakukan tindakan demonstrasi besar-besaran.
"Jika pemerintah tetap melanjutkan kenaikan PPN menjadi 12 persen apalagi tidak diimbangi kenaikan bayaran sesuai tuntutan, KSPI berbareng serikat pekerja lainnya bakal melakukan mogok nasional dengan melibatkan 5 juta pekerja di seluruh Indonesia," kata Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangannya Selasa (19/11) kemarin.
Tak hanya buruh, petisi menolak rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 juga menggema di kalangan warganet di media sosial.
Bukan tanpa sebab, kebanyakan warganet menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen bakal sangat membebani masyarakat nilai beragam jenis peralatan kebutuhan pokok bakal naik.
Padahal, keadaan ekonomi masyarakat belum membaik, apalagi dengan tingginya nomor pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Petisi tersebut dibuat dan dibagikan oleh akun X @barengwarga pada Selasa (19/11) silam. Dalam cuitannya, akun itu menuntut pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan PPN.
"Kenaikan PPN tersebut secara langsung bakal membebani masyarakat, lantaran menyasar barang-barang kebutuhan pokok. Kalau keputusan meningkatkan PPN itu dibiarkan bergulir, mulai nilai sabun mandi sampai bahan bakar minyak (BBM) bakal ikut naik. Otomatis daya beli masyarakat bakal terganggu dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup," bunyi cuitan akun itu.
Pantauan CNNIndonesia.com, Kamis (21/.11) pagi, petisi dengan titel 'Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!' itu tercatat sudah diteken oleh 2.808 orang.
Selain tindakan petisi, warganet juga menyuarakan aktivitas style hidup minimalis sebagai corak perlawanan. Dalam aktivitas itu, masyarakat diajak untuk mengurangi konsumsi barang-barang tertentu nan terdampak PPN guna menekan beban pajak.
Pasalnya, konsumsi masyarakat menjadi salah satu aspek pertumbuhan ekonomi.
Tak hanya pekerja dan warganet, ahli ekonomi pun mengatakan kenaikan PPN jadi 12 persen tahun depan memang berpotensi menimbulkan masalah.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan kenaikan PPN menjadi 12 persen bakal menimbulkan banyak dampak.
Pertama, kepada konsumsi rumah tangga.
Maklum, kenaikan PPN bakal membikin harga-harga jual peralatan dan jasa ikut naik.
"Karena biasanya perusahaan kurang bersedia menanggung kenaikan PPN sendiri, sehingga biasanya jalan tercepat adalah meningkatkan nilai jual peralatan alias jasa nan diproduksi oleh perusahaan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/11).
Ronny mengatakan semakin mengalami tekanan daya beli lantaran kenaikan nilai peralatan dan jasa, maka masyarakat bakal mengurangi konsumsi atas peralatan dan jasa tersebut, sehingga permintaannya bakal menurun.
Dampak kedua, penurunan keahlian produksi perusahaan.
Pasalnya, jika permintaan dari masyarakat turun, maka produksi perusahaan tidak terserap. Akhirnya mereka kudu menahan produksi lantaran persediaan mereka tetap banyak.
Ketiga, merajalelanya PHK.
Ia mengatakan penurunan produksi imbas berkurangnya permintaan masyarakat pastinya bakal membikin pemutusan hubungan kerja (PHK) merajalela.
Keempat, penurunan minat investasi.
Ia mengatakan jika permintaan turun akibat konsumsi rumah tangga turun maka prospek investasi di Indonesia bakal memburuk.
Investor bakal berpikir ulang untuk membuka investasi baru lantaran performa pasarnya juga menurun alias terus terkontraksi.
Kelima,target pertumbuhan ekonomi di tahun depan bakal susah untuk tercapai.
Sementara keenam, akibat pada APBN.
"Pun secara fiskal, meskipun PPN naik, tapi imbasnya bisa membikin penerimaan negara justru menurun lantaran berpotensi menurunkan permintaan di masa mendatang, nan membikin penurunan produksi nan berpotensi menurunkan penerimaan negara dari PPN secara nominal," imbuhnya.
Meskipun mendapatkan penolakan, pemerintah dan DPR tetap ngotot. Menteri Keuangan Sri Mulyani misalnya, mengungkapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 2025 tetap sesuai dengan petunjuk UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Ia juga menegaskan belum ada pembahasan pemberlakuan kenaikan pajak bakal ditunda.
Meski banyak perdebatan meningkatkan pajak di tengah pelemahan daya beli, Sri Mulyani mengingatkan APBN sebagai instrumen penyerap kejut (shock absorber) perekonomian kudu dijaga kesehatannya.
"APBN memang tetap kudu dijaga kesehatannya lantaran APBN itu kudu berfaedah dan bisa merespon dalam bagian dunia financial crisis. Countercyclical tetap kudu kita jaga," ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi XI, Rabu (13/11).
DPR nan menjadi wakil rakyat pun tak mau menggubris tuntutan masyarakat. Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun menyerahkan keputusan kenaikan PPN itu kepada pemerintah.
"Sekarang kami kembalikan kepada pemerintah, lantaran undang-undang itu sudah disepakati," kata di instansi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta, Selasa, (19/11) seperti dikutip dari CNBCIndonesia.