Liputan6.com, Jakarta - Ketergantungan kita terhadap internet dalam kehidupan sehari hari dan aktivitas penyelenggaraan negara bakal semakin besar, demikian juga ancaman terhadap cyberattacks dalam corak apapun termasuk ransomware (bajak internet).
Bajak internet berbeda dengan bajak laut nan bisa dicegah dengan menempatkan pengawal bersenjata didalam kapal. Bajak internet alias ransomware tidak nampak secara bentuk dan serangan dilakukan dari segala penjuru dunia!
Semakin canggih sistem cyber security nan diterapkan, bakal semakin canggih pula ransomware! Dan nan membikin banyak organisasi pengguna internet seperti perusahaan perusaahaan industri dan jasa apalagi organisasi nir untung nan menjadi korban, lantaran mereka hanyalah sebagai user bukan developer software.
Mereka tidak secanggih para hackers nan pada umumnya anak anak muda nan sangat sigap belajar dan bergerak. Apalagi jika dibandingkan dengan organisasi pemerintah alias birokrat nan pada umumnya lambat dan tidak mempunyai motivasi tinggi.
Pada umumnya hackers melakukan penyelundupan ke dalam server dan sistem internal, melakukan incryption (acak data) terhadap info penting, kemudian meminta hadiah (uang tebusan) dalam corak mata duit crypto nan kemudian diuangkan di bursa China.
Dalam perang cyber serangan dilakukan dengan melakukan take down (mematikan) sistem operasi instalasi penting, seperti listrik, pengedaran minyak, bahkan sistem operasi perbankan. Rusia pernah melakukannya dengan mematikan operasi Pembangkit Listrik di Ukraina.
Selain itu kita susah melacak sumber serangan lantaran IP (Internet Protocol) address (alamat penyerang) nan diacak secara canggih. Peluang upaya ransomware semakin menggiurkan dalam era digital.
Bahkan Korea Utara, sejak mengalami sangsi pemboikotan oleh negara negara barat, mereka merespons dengan membangun pasukan nan dinamakan cyber warrior.
Miri Collegge dan Kim Il Sung Military University melatih 1000 cyber warriors setiap tahun. Pada umumnya mereka menyerang perusahaan besar dan UKM serta organisasi krusial di Korea Selatan.
* Follow Official WA Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Belajar dari Negara Lain
Menurut Intelijen Korea Selatan, pengeluaran mereka untuk bayar ransomware di tahun 2020 sebesar USD1,8 billion (kurang lebih Rp30 triliun), meningkat 18 kali lipat dalam 5 tahun.
Menurut Komite Pemberian Sangsi terhadap Korea Utara di PBB, penghasilan Korea Utara dari ransomware mencapai USD 316 juta per tahun. Jumlah ini tidak dapat diverifikasi lantaran memerlukan kerja sama dengan China (Sumber Nikei Asia research).
Peningkatan serangan bajak internet juga terjadi di Inggris. Lebih dari 2,3 juta serangan terjadi di Inggris di tahun 2023. Perusahaan perusahaan konglomerat bumi juga pernah menjadi korban ransomware, diantaranya adalah; pabrikan mobil Honda dari Jepang nan mengakibatkan operasi pabrik mereka di Ohio dan Brazil tutup selama 3 hari.
Selain itu, operasi pabrik mobil Honda di beberapa negara ialah Jepang, Turki, Itali dan Inggris juga mengalami gangguan. Di tahun 2020, Picanol, perusahaan weaving machine maker dari Belgia kudu menghentikan operasi nya di China dan Eropa.
Di Australia, apalagi perusahaan besar produksi baja Blue Scope juga pernah kena serangan ransomware. Fresenius perusahaan besar operator rumah sakit terkemuka di Eropa mengalami serangan bajak internet nan mengganggu pelayanan cuci darah terhadap pasien pasien di rumah sakit!
Kerugian Akibat Ransomware
Cyberattacks meningkat sangat drastis dari tahun ketahun. Kerugian finansial akibat ransomware meningkat 270 persen selama 3 bulan di tahun 2020 dengan jumlah sebesar USD 8,4 milyar (Rp140 triliun).
Jumlah tersebut sebenarnya jauh lebih besar lantaran banyak perusahaan perusahaan dunia nan kena ransomware tidak melaporkan kasusnya dan lebih condong bayar duit tebusan (ransom) secara tak bersuara diam. Karena perihal tersebut dianggap jauh menguntungkan daripada kehilangan pasar dan penurunan nilai saham serta integritas keberlangsungan upaya mereka nan jauh lebih besar daripada jumlah duit tebusan nan diminta.
Kejadian akhir akhir ini di Indonesia nan mengalami serangan serangan ransomware di Pusat Data Nasional, Imigrasi, Badan Intelijen Srategis, dan NAFIS Polri telah membuktikan bahwa Indonesia telah menjadi mangsa lembek para bajak Internet untuk mencari uang.
Kelemahan keamanan siber telah terdeteksi oleh para hackers, lantaran kita tidak mempunyai Fire Wall system nan canggih dan di-update terus menerus.
Serangan siber jangan dianggap enteng, lantaran berkarakter “insidious” alias mematikan dan menyebar secara sigap dalam waktu singkat.
Teknik nan digunakan dalam cyberattacks semakin canggih dengan berjalannya waktu. Big info setiap negara telah menjadi corak baru kekayaan krusial sebuah negara nan kudu dilindungi secara nasional. Big info jauh lebih berbobot dari kekayaan sumber daya alam nasional!
Respons Hadapi Serangan Cyber
Respons kita terhadap serangan cyber saat ini kudu dianggap serius dan memerlukan perhatian seluruh unsur penguasa dan stake-holders nan kurang mengerti terhadap pentingnya perlindungan aset info nasional nan sangat krusial dan sangat dibutuhkan dalam aktivitas ekonomi dan aktivitas pengelolaan pemerintah.
Seharusnya kita sudah mulai sadar dan was-was sejak dua puluhan tahun lalu. Memanfaatkan kejadian ini dengan meminta Menteri Kominfo turun hanya intrik politik nan kurang tepat dan tidak memberikan solusi jangka panjang.
Semua pemangku kekuasaan nan pernah berkuasa dan mengabaikan cyber security untuk pengamanan info nasional kudu turut bertanggung jawab.
Prioritas kudu diberikan dalam corak alokasi anggaran oleh DPR RI dan Pemerintah. Apakah kita bakal menunggu sampai biaya masyarakat dalam sistem perbankan lenyap lantaran perbankan berakhir beraksi akibat serangan ransom ware?
* Fakta alias Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran info nan beredar, silakan WA ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci nan diinginkan.