Nelangsa Pekerja Kelas Menengah: Gaji Dipotong Tapera tapi Dapat Apa?

Sedang Trending 4 bulan yang lalu

Jakarta, CNN Indonesia --

Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai penolakan, baik dari pihak pengusaha maupun pekerja. Kelompok pekerja kelas menengah merasa rugi menjadi peserta program, tetapi tak dapat untung dari simpanan wajib ini.

Maklum, program simpanan wajib ini bakal memotong penghasilan tenaga kerja sebesar 3 persen. Rinciannya, sebesar 0,5 persen ditanggung pemberi kerja, sisanya dibayar pekerja.

Karyawan perusahaan media massa berinisial R termasuk nan tak setuju pungutan ini. Sebab, simpanan Tapera tak menguntungkan baginya lantaran hanya bisa dimanfaatkan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memang, meski pungutan Tapera menyasar seluruh pekerja nan gajinya minimal bayaran minimum, namun faedah untuk membeli alias merenovasi kediaman hanya bisa diakses oleh MBR.

"Kemungkinan besar gue nggak bakal bisa pake akomodasi pembiayaan (rumah) ini, lantaran memang pembiayaan rumah Tapera hanya bisa dipakai MBR kan? Jadi buat apa gua ikut setor jika gua pun enggak bisa pake?" curhatnya kepada CNNIndonesia.com.

Belum lagi, kemarin dia sempat membaca buletin temuan BPK soal biaya Tapera Rp567 miliar belum dicairkan ke 124 ribu PNS pada 2021. Karenanya, R ragu simpanannya kondusif dan bisa dicairkan saat pensiun.

"Melihat kasus-kasus sebelumnya, lampau ada Jiwasraya, BPJS Ketenagakerjaan, alias Asabri, sudah bertahun-tahun penghasilan dipotong, eh rupanya uangnya nggak bisa dicairkan saat pensiun lantaran ada kasus," keluhnya.

Karyawan swasta ini beranggapan bakal lebih untung jika mengelola uangnya sendiri. Imbal hasil pun bisa lebih maksimal.

"Lihat info hasil tabungan peserta PNS, gua merasa bisa dapat untung nan lebih besar deh jika mengelola duit sendiri," ungkapnya.

R berambisi simpanan wajib Tapera dibatalkan. Meski hanya memotong 2,5 persen, dia merasa jumlah itu dapat dialokasikan ke anggaran lain.

Lagipula, pemerintah sudah punya beberapa program lain nan menyediakan akomodasi pembiayaan rumah. Menurutnya, program nan sudah ada saja dimaksimalkan.

"Ada program BPJS Ketenagakerjaan nan nyediain pembiayaan rumah juga. Kayanya pemerintah semestinya lebih maksimalkan program ini sih," harapnya.

Selain R, seorang PNS di Kementerian Keuangan berinisial G juga tidak setuju bakal pungutan ini lantaran tidak efektif jika tujuannya membikin semua orang punya rumah. Konsepnya pun salah kaprah.

Menurutnya, solusi tepat penyediaan kediaman nan tepat justru menyediakan rumah sewa nan dikelola pemerintah.

"Justru harusnya solusinya itu penyediaan rumah sewa tapi dikelola pemerintah, Jepang seperti ini. Juga bukan rusun," usulnya.

Menurutnya, tidak semua orang bisa mempunyai rumah. Walaupun memungkinkan, pemerintah juga kudu memberantas mafia tanah.

"Basmi mafia tanah, batasi kepemilikan tanah untuk tiap nama," ujarnya.

Lulusan STAN ini juga menilai dengan timpangnya kenaikan nilai tanah dan penghasilan, potongan 2,5 persen setiap bulan tidak efektif.

"Kenaikan nilai tanah sama kenaikan penghasilan orang itu timpang, lebih sigap naiknya nilai tanah. Dari 1950 sampai 2024 misalnya, untung nilai aset di desa aja udah puluhan miliar bahkan," katanya.

"Coba pikir, pakai standar penghasilan sekarang, realistis nggak orang pribadi bisa punya aset nilai segitu? Jadi, potongan 2,5 persen tiap bulan bakal menghasilkan?" imbuh Abdi Negara itu.

Seorang tenaga kerja BUMN migas berinisial N juga merasa sasaran program Tapera semestinya tidak semua tenaga kerja bergaji minimal bayaran minimum. Sasaran peserta harusnya memang nan butuh tempat tinggal.

"Menurut gue Tapera ini enggak bisa dipukul rata sih, buat nan udah punya rumah urgensinya apa? Terus para pekerja nan udah mau mendekati pensiun apakah mau dikenakan juga?" ujar N.

N juga pesimis program ini manjur membantu MBR bisa punya rumah jika memandang nilai properti sekarang.

Ia tak memandang ada akibat positif simpanan Tapera terhadap kesejahteraan karyawan. Dana pensiun dan asuransi kesehatan dinilai opsi nan lebih membantu.

"Sejauh ini gue tetap belum mengerti kenapa adanya Tapera bisa membantu kesejahteraan pekerja," pungkasnya.

N meminta pemerintah mengkaji lagi penyelenggaraan Tapera secara matang. Ia bersimpati pada pekerja-pekerja nan gajinya pas-pasan bayaran minimum, tetapi non-MBR.

"Yang gajinya mepet UMR itu udah terpakai untuk banyak keperluan, eh dipotong buat Tapera nan benefit-nya juga kita enggak tau bakal kayak gimana," jelasnya.

Menurutnya, kepemilikan rumah bukan urgensi setiap orang, terlebih bagi nan sudah mempunyai rumah. Jadi, pungutan wajib Tapera tak menguntungkan bagi nan sudah mempunyai rumah.

"Buat nan mau-mau saja gitu lho. nan sudah punya rumah nyaman mah ngapain? Kalau pun gotong-royong, harusnya persetujuan dua pihak. Ini mah jatuhnya jadi pungutan nan kita aja benefit-nya enggak dapat," keluhnya.

[Gambas:Video CNN]

(num/pta)

Sumber cnnindonesia.com
cnnindonesia.com