Jakarta, CNN Indonesia --
Target penggunaan energi baru terbarukan (EBT) pemerintah diturunkan dari semula 23 persen di 2025 jadi hanya 17 persen. Sudah diturunkan namun nomor ini pun diramal tetap susah dicapai.
Lembaga kajian kebijakan daya Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) dalam laporannya menggarisbawahi kelambatan pemerintah untuk konsentrasi memanfaatkan potensi daya terbarukan, khususnya tenaga surya dan angin.
Akibatnya ketergantungan daya fosil terutama batubara untuk penggerak pembangkit listrik tak bisa dihindarkan. Jika EBT mulai digenjot sekarang pun, sasaran 23 persen baru bisa dicapai pada 2030.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan mulai menghentikan penggunaan PLTU lama secara berjenjang dan berfokus pada pemanfaatan daya surya dan angin, pemerintah dapat mencapai sasaran bauran daya terbarukan pada tahun 2030. Gerakan ini juga dapat menjadi lompatan besar bagi Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan," demikian isi laporan IEEFA.
Dorongan agar konsentrasi pada pemanfaatan daya mentari dan angin didasarkan pada hitungan biaya produksi nan dianggap sangat kompetitif. Analis IEEA Mutya Yustika mengatakan tidak lama lagi biaya listrik dari batubara justru bakal lebih mahal dibanding daya terbarukan.
"LCOE (levelized Cost of Electricity) daya surya dan angin turun jauh lantaran proyek besar-besaran di seluruh dunia. ... LCOE daya surya sekitar 4,78 cUSD/kWh, sementara angin 4,77 cUSD/kWh, malah lebih rendah 1,7 cUSD/kWh dibanding batubara. Tahun 2030 dan seterusnya bakal lebih murah lagi. Apalagi jika memperhitungkan biaya operasional PLTU nan lebih tinggi akibat perubahan nilai batubara."
LCOE adalah nilai jual listrik agar titik lunas tercapai pada akhir masa pakai pembangkitnya. Metrik ini digunakan untuk mengevaluasi biaya listrik nan dihasilkan oleh generator, dan dihitung dengan membagi total biaya tahunan sistem dengan total beban listrik nan dilayani.
Direktur Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiyani mengakui pengembangan EBT di Indonesia tetap jauh dari target. Eniya nan baru dilantik Februari lampau mengatakan pandemi banyak menghalang rencana strategis pengembangan listrik dari EBT.
"Saya sangat aware ada dugaan ini impossible. Saya juga sadar bahwa waktu (untuk mengejar target) tinggal 1,5 tahun. Sekarang konsentrasi kita adalah meningkatkan investasi untuk proyek EBT," kata Eniya saat dihubungi CNN Indonesia.
Saat dihajar pandemi lebih dari dua tahun, konsumsi listrik berkurang sehingga persediaan domestik berlebih. Akibatnya rencana proyek dari sektor EBT tak banyak dikembangkan PLN. Setelah pandemi lewat, Eniya optimistis proyek EBT bisa digenjot.
"Pasca Covid konsumsi listrik bakal tumbuh (kembali) lantaran industri sedang semangat tumbuh. Sehingga 1-2 tahun ini kebutuhan Jawa-Bali juga pasti tumbuh, rumor oversupply bakal terkikis lah. Di wilayah Sumbar malah sudah defisit. Di Sulawesi juga naik konsumsinya lantaran banyak smelter untuk nikel," kata guru besar bagian rekayasa sel bahan bakar ramah lingkungan ini.
Pemerintah merencanakan beberapa perubahan kebijakan termasuk mencabut tanggungjawab pemakaian komponen dalam negeri untuk PLTS Atap untuk menggenjot investasi. PLN juga bakal meningkatkan penerimaan kuota PLTS Atap untuk tujuan nan sama.
(dsf/sur)
[Gambas:Video CNN]