Liputan6.com, Jakarta- Cedera menjadi mimpi jelek bagi seorang atlet. Banyak atlet nan kariernya sedang berada di puncak terpaksa kudu meredup dan hancur acak-acakan akibat cedera parah nan menimpanya.
Kasus paling tragis dialami pebasket NBA Derrick Rose. Di awal kariernya di NBA, Rose begitu cemerlang. Pemain nan berposisi sebagai point guard itu diramal banyak kalangan bisa menjadi bintang besar.
Kiprah Rose memang sangat sensasional. Dia bisa merebut gelar pemain terbaik alias Most Valuable Player (MVP) NBA 2011. Saat itu usianya baru. Rose menorehkan sejarah sebagai peraih MVP termuda sepanjang masa NBA pada usia 22 tahun dan enam bulan. Rekor tersebut tetap memperkuat sampai saat ini.
Sayangnya kecemerlangan Rose hancur acak-acakan manakala cedera ACL menyerangnya setahun setelah meraih MVP. Kehebatannya pun langsung lenyap tak berbekas. Rose baru pensiun akhir September lampau di usia 36 tahun.
Untung mengurangi kemungkinan terkena cedera parah atlet-atlet kudu rutin memeriksakan kondisi fisiknya. Bahkan saat tetap terasa bugar. Hal ini perlu dilakukan agar fisioterapi bisa mendeteksi jika ada nan tidak betul dengan kondisi tubuh.
"Atlet itu kudu mengerti dengan dirinya sendiri. Harus aware dengan apa nan dia lakukan. Kalau rehat cukup bisa meningkatkan performa. Ketika ada latihan jangan lupa pemanasan. Kemudian juga rehabilitasi. Rehabilitas itu penting. Rehab itu bukan berfaedah kudu dilakukan saat cedera. Misalnya jika lari kurang kencang, ini kudu segera mungkin gimana caranya meningkatkan performa dengan di revisi, semacam di setting ulang lagi kaki-kakinya," tutur fisioterapis ternama Indonesia, Windy Mayang.