Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan karpet merah ke organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan mengelola tambang di Indonesia.
Karpet merah itu dia berikan melalui publikasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beleid tersebut resmi diundangkan pada 30 Mei 2024.
Lewat patokan itu, ormas keagamaan sekarang bisa mempunyai wilayah izin upaya pertambangan unik (WIUPK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, mereka mendapatkan prioritas penawaran dari pemerintah.
"Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan upaya nan dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan," jelas pasal 83A ayat 1 beleid tersebut, dikutip Minggu (2/6).
Pasal 83A ayat 2 kemudian menegaskan bahwa WIUPK tersebut berasal dari wilayah jejak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).
PKP2B adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan norma untuk melakukan aktivitas upaya pertambangan batu bara.
Meski direstui mengelola tambang, ormas keagamaan dilarang sembarangan memindahkan izin alias kepemilikan sahamnya di badan upaya tersebut. Harus ada persetujuan menteri mengenai terlebih dahulu.
"Izin upaya pertambangan unik (IUPK) dan/atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada badan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan menteri," tulis pasal 83A ayat 3.
Ormas keagamaan nan mau mengelola pertambangan juga kudu mencatatkan kepemilikan saham kebanyakan di badan usaha. Dengan kata lain, mereka kudu menjadi pengendali.
Selain itu, badan upaya milik ormas keagamaan nan mendapatkan IUPK dilarang bekerja sama dengan pemegang PKP2B sebelumnya. Larangan tersebut juga bertindak terhadap hubungan pemegang izin lama.
Lantas seberapa kompeten ormas mengelola tambang?
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai ormas keagamaan dipastikan tidak kompeten mengelola tambang. Pasalnya ormas didirikan dengan tujuan untuk umat dan sosial, bukan untuk upaya pertambangan.
Dalam upaya pertambangan, sambungnya, kudu memenuhi syarat administrasi, teknik, dan finansial.
"Rasanya itu tidak dimiliki oleh ormas alias badan upaya milik ormas. Kalaupun toh dianggap memenuhi syarat itu terlalu dipaksakan," katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/6).
Ia juga menilai pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pasalnya dalam beleid itu, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kudu dilelang dan diprioritaskan hanya untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Karena bertentangan dengan UU Minerba, Bisman mengatakan pemerintah tidak selayaknya melanjutkan rencana pemberian izin ke ormas keagamaan. Jika kebijakan itu dilanjutkan, sambungnya, maka beropetensi menimbulkan kasus di kemudian hari.
Ia mengatakan saat ini ada 59 PKP2B nan tersedia di mana sebagian bisa jadi bakal akan lenyap masa berlakunya alias dilakukan penciutan sebagian wilayah letak PKP2B tersebut. Sehingga dia menilai tidak banyak potensi nan bisa dikelola ormas.
Menurutnya, bisa jadi ormas hanya menjadi pengelola izin tambang di permukaan saja, tetapi di baliknya oligarki nan berkuasa.
"Memberikan IUPK atas nama ormas namun bisa jadi ada pemain lain nan nebeng nama ormas," katanya.
[Gambas:Video CNN]
Bisman mengatakan ormas keagamaan mestinya menjadi penyeimbang dan pengontrol termasuk dalam menjaga lingkungan hidup. Sedangkan industri tambang terutama batu bara berpotensi merusak lingkungan.
"Jadi sebaiknya ormas tidak usah ikut ikutan main tambang, tetapi sebagaimana posisi luhurnya menjaga umat dan lingkungan. Nanti jika perusahaan tambang nakal, ormas tidak bisa koreksi dan mengawasi,' imbuhnya.
Senada, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak mengatakan kebanyakan ormas keagamaan tidak mempunyai kompetensi dan pengalaman mengelola lahan tambang sehingga susah untuk diberikan IUP/IUPK nan mensyaratkan keahlian mengenai teknologi, SDM, keuangan, pengelolaan lingkungan hidup, masalah sosial, dan sebagainya.
Pemberian IUP/IUPK kepada pihak nan kurang mempunyai kompetensi dan pengalaman, sambungnya, bakal sangat beresiko menimbulkan masalah nan berakibat pada keberlangsungan upaya pertambangan, gejolak sosial dan terganggunya sasaran produksi, serta berpengaruh terhadap transisi energi.
"Pada saat ormas nan tidak mempunyai kompetensi, keahlian dan pengalaman mendapatkan IUP/IUPK, maka mereka bakal 'menggandeng' alias 'menjual' kepada lembaga lain alias perusahaan pertambangan nan berpotensi terjadinya penguasaan langsung dan tidak langsung oleh golongan upaya tertentu," katanya.
Ali mengatakan potensi tambang PKP2B nan bisa dikelola oleh ormas keagamaan kudu dipetakan ulang dan dihitung secara detail. Pemerintah kudu secara selektif menentukan area tambang nan bakal dibagikan dan memilih ormas nan layak menerimanya.
"Jika program ini 'dipaksakan' mau dilakukan, ormas keagamaan memerlukan kerjasama dan kemitraan dengan pihak lain, termasuk pemegang izin pertambangan, pemerintah wilayah dan masyarakat lokal," imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Coal Mining Association (ICMA) Hendra Sinadia mengatakan setiap orang mempunyai kewenangan untuk mengusulkan permohonan izin tambang, termasuk ormas keagamaan, sepanjang memenuhi persyaratan nan diatur dalam perundang-undangan. Karena itu badan upaya nan sahamnya kebanyakan dimiliki ormas bakal menyertakan ahli-ahli dalam mengusulkan permohonan prioritas.
"Karena persyaratan untuk mendapatkan izin pertambangan sangat ketat. Jadi dia kudu bisa memastikan bahwa aktivitas good mining practices dilaksanakan, keselamatan kerja dijaga, pengelolaan lingkungan, dan lain-lainnya," katanya.
(agt)