Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan keamanan siber dan penyediaan konten, Akamai Technologies, meluncurkan penemuan terbaru berupa jasa Enterprise Application Access (EAA).
Solusi ini datang sebagai jawaban atas tantangan keamanan siber nan semakin kompleks, khususnya dalam memberikan akses jaringan nan kondusif ke aplikasi perusahaan.
EAA mengangkat pendekatan Zero Trust Network Access (ZTNA) nan mana mengasumsikan bahwa tidak ada pengguna alias perangkat nan dapat dipercaya secara penuh, sehingga setiap akses ke jaringan kudu melalui verifikasi ketat.
Dengan EAA, akses hanya diberikan ke aplikasi nan dibutuhkan oleh pengguna, berasas identitas, konteks, dan keamanan perangkat mereka, sehingga mengurangi akibat keamanan dan memperkecil serangan.
Mengutip keterangan resmi dari Akamai, berikit ini fitur utama dari EAA:
- Akses Tanpa VPN: EAA menghilangkan kebutuhan bakal VPN tradisional, nan sering kali menjadi sasaran utama para hacker. Ini menyediakan akses langsung ke aplikasi melalui browser tanpa perlu menginstal perangkat lunak tambahan di perangkat klien.
- Keamanan Berbasis Identitas: Setiap upaya akses ke aplikasi diperiksa dan diverifikasi melalui identitas pengguna, memastikan bahwa hanya pengguna nan berkuasa nan bisa mengakses aplikasi nan relevan.
- Adaptif dan Responsif: EAA memungkinkan keputusan akses adaptif berasas info real-time seperti letak pengguna, waktu akses, dan kondisi keamanan perangkat. Ini berfaedah akses dapat diizinkan alias ditolak berasas konteks nan dinamis.
- Integrasi dengan Ekosistem Keamanan: EAA bekerja dengan baik dengan beragam provider identitas dan sistem manajemen keamanan perusahaan, termasuk SIEM, untuk memberikan lapisan keamanan nan terintegrasi.
Kerugian Akibat Kejahatan Siber Diramal Tembus Rp 164,7 Kuadriliun di 2025
Di sisi lain, Director of Payment Ecosystem Risk and Control Visa, Lim Kah Wee, memperingatkan atas bahaya serangan siber terhadap sektor upaya di masa depan. Khususnya bagi para pelaku upaya sekelas UMKM nan sekarang banyak bertebaran di Indonesia.
Lim menyatakan, kasus cyber crime saat ini sangat progresif, hingga menciptakan kerugian upaya triliunan rupiah. Pelaku kejahatan siber saat ini sudah sangat terorganisir sebagai sebuah entitas bisnis.
"Pelaku kejahatan (siber) hari ini seperti bisnis. Mereka punya satu tujuan, ialah menghasilkan uang. Mereka mempunyai CEO, COO, CEO, apapun itu untuk menciptakan duit secepat mungkin," ungkapnya dalam Indonesia Knowledge Forum (IKF) XIII-2024 nan digelar Bank BCA di The Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Selasa (12/11/2024).
Menurut estimasinya, kerugian akibat kejahatan siber secara dunia bakal menembus USD 10,5 triliun, alias setara 164,75 kuadriliun di 2025. Angka itu melonjak dari total kerugian di 2022 sebesar USD 7 triliun, dan USD 2 triliun di 2019.
Jumlah itu bakal menyantap porsi tak sedikit dari total produk domestik bruto (PDB) global, nan pada 2025 diperkirakan berada di kisaran USD 115 triliun.
Penjahat Siber Manfaatkan AI
Dengan perangkat AI, Lim menyebut pelaku kejahatan siber bisa dengan mudah membobol info finansial perseorangan maupun perusahaan. Ini jadi semacam peringatan bagi suatu negara agar lebih memperhatikan sistem keamanan digital.
"Jadi mereka memanfaatkan apapun nan bisa mereka lakukan untuk mendapatkan uang. Semisal lewat real time payments, monetisasi dengan cepat," imbuhnya.
Singkatnya, dia meminta badan otoritas suatu negara untuk memperkuat sistem digital, dengan memanfaatkan next generation tools semacam AI. Sehingga, Lim berambisi tak bakal ada banyak rekening nan telah terkoneksi dengan sistem digital, simpanannya bakal terkuras lenyap di masa depan.
"Mereka terus menerus membuktikan Anda dan saya, dan semua sistem pembayaran mudah dibobol. Dengan begitu, pertanyaannya adalah kapan kita menunggu mereka menghasilkan duit sebanyak mungkin dari Anda. Dengan itu, saya berambisi nan terbaik untuk Anda semua, semoga sukses," tuturnya.