Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal memberlakukan PPN 12% mulai Januari 2025. Angka itu naik dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% nan bertindak sejak 1 April 2022.
Terkait kebijakan kontroversial itu, warganet ramai-ramai menolak PPN 12% hingga menjadi trending topic di platform X namalain Twitter.
Garuda biru kembali menjadi simbol protes dan keresahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah nan dianggap tak adil, terutama bagi rakyat kecil.
"Menarik pajak tanpa timbal kembali untuk rakyat adalah sebuah kejahatan. Jangan minta pajak besar jika belum becus melayani rakyat. Tolak PPN 12%," demikian isi kalimat protes kenaikan PPN dengan latar belakang garuda biru.
"Jangan kebiasaan malakin rakyat! Bebankan pajak besar untuk pembalak hutan, pengeruk bumi dan industri tersier. Jangan palak rakyat terus-terusan," tulis peringatan nan lain.
Bukan itu saja, banyak warganet nan dengan keras menolak PPN 12%. Berikut ini cuitan dari sejumlah warganet di X.
"Tolak PPN 12%," cuit @syaf*** dengan lantang
"Bodo amat. Kami menolak PPN 12%," tulis @kang***
"Lambungkan tagarnya, meski parlemen bersikap masa bodoh, biar netizen yg kritis kenaikan PPN 12%," timpal @ves***
"Sebaiknya Pemerintah menunda kenaikan PPN 12%. Ekonomi tetap lesu, kelas menengah melorot, PHK dimana-mana, industri morat-marit, pekerjaan umum menyusut," papar @mul***
PPN Naik Jadi 12% Bisa Kurangi Beban Utang
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mempunyai akibat nan cukup signifikan ke ekonomi nasional.
Kenaikan tarif PPN bakal meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. Dengan PPN nan lebih tinggi, pemerintah bakal memperoleh lebih banyak biaya untuk mendanai beragam program penting, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan sektor kesehatan.
"Menurut sejarahnya, PPN telah menjadi salah satu sumber pendapatan utama negara dan lebih tahan terhadap perubahan ekonomi daripada pajak penghasilan nan berjuntai pada untung bisnis," kata Josua kepada Liputan6.com, Rabu (20/11/2024).
Peningkatan PPN juga diharapkan bakal mengurangi defisit anggaran dan ketergantungan pada utang, terutama setelah pengeluaran pemerintah nan meningkat selama pandemi.
Selain itu, PPN lebih mudah ditarik lantaran tercatat dalam semua transaksi ekonomi, terutama nan berangkaian dengan konsumsi. Akibatnya, manajemen perpajakan menjadi lebih efisien.
"Dengan kenaikan menjadi 12%, tarif PPN Indonesia bakal sebanding dengan rata-rata dunia (15%) dan ASEAN, membikin sistem pajak Indonesia lebih menarik bagi investor," ujarnya.
Kemudian, dalam jangka panjang, peningkatan penerimaan pajak dapat berkontribusi pada visi Indonesia 2045, nan bermaksud untuk menjadikan negara maju dan salah satu dari lima ekonomi terbesar di dunia.
Sebaliknya, jika kebijakan kenaikan PPN tidak diterapkan, bakal ada beberapa konsekuensi, pertama, pemerintah bakal kehilangan potensi pendapatan tambahan, nan dapat memperbesar defisit anggaran dan membatasi ruang fiskal untuk shopping produktif.
Perbaikan Struktur Fiskal
Kedua, pembangunan infrastruktur, program sosial, dan investasi strategis lainnya dapat tersendat jika penerimaan negara tidak cukup untuk mendanai kebutuhan tersebut.
"Selain itu, ini dapat menyebabkan beban utang pemerintah dan akibat fiskal jangka panjang meningkat lantaran pemerintah mungkin kudu lebih berjuntai pada pinjaman untuk menutup defisit," ujarnya.
Di sisi lain, reformasi pajak nan tidak progresif dapat memperlambat perbaikan struktur fiskal dan membikin Indonesia kurang kompetitif di wilayah tersebut.