Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran jasa internet Starlink di Indonesia ke depannya diprediksi bisa menakut-nakuti operator seluler dan perusahaan satelit lokal eksisting.
Isu ini apalagi sampai ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan telah memanggil Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan seluruh pemangku kepentingan di industri telekomunikasi Indonesia.
KPPU mau mendengar penjelaskan dari Kominfo dkk, mengenai rumor kehadiran Starlink bagi suasana persaingan upaya di Indonesia melalui forum Focus Group Discussion (FGD).
Namun, Kominfo nan rencananya diwakili Direktur Telekomunikasi Kominfo, Aju Widya Sari, mendadak membatalkan kehadirannya dan tak mengirim perwakilan.
Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyayangkan ketidakhadiran Kominfo di aktivitas nan dibuat oleh lembaga negara tersebut.
Sejatinya forum resmi di KPPU itu dapat dijadikan tempat untuk menjelaskan tudingan dan gunjingan keberpihakan Kominfo terhadap keberadaan Starlink di Indonesia.
"Kalau mempunyai niat baik dan visi untuk memajukan suasana persaingan upaya telekomunikasi di Indonesia, harusnya Kominfo dapat datang untuk menjelaskan secara terbuka terhadap rumor negatif dan gunjingan nan terjadi di masyarakat. Jika tidak datang seperti itu justru bakal memantik tudingan liar lainnya," ucap Heru, dikutip Minggu (2/6/2024).
Dalam pemberitaan nan muncul dari FGD KPPU, ada framing jika Starlink merupakan pemain baru, bukan pelaku dominan di industri telekomunikasi dan tak berpotensi untuk melakukan predatory pricing alias pun praktik monopoli.
Sebagai pihak pengawas persaingan usaha, menurut Heru, KPPU pastinya sudah sangat mengerti mengenai predatory pricing dan praktik monopoli.
"Jika ada pihak nan menggiring opini mengenai kehadiran Starlinik tidak mengarah ke predatory pricing dan prilaku monopoli, mereka tak mengerti mengenai persaingan usaha--khususnya di industri telekomunikasi dan digital," ucapnya menegaskan.
* Follow Official WA Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Starlink bakal Punya Banyak Satelit Melebihi Pemain Lokal
Untuk mengendus ada alias tidaknya predatory pricing dan monopoli, kudu dilihat beberapa parameter seperti perilaku mereka di bumi internasional, kekuatan kapital nan mereka miliki, teknologi nan dipakai serta akses terhadap regulator, baik itu di lembaga internasional maupun di satu negara.
Saat ini Starlink mempunyai satelit orbit rendah dengan jumlah 5402. Rencananya mereka bakal mengorbitkan hingga 30 ribu satelit.
Ketika Starlink melewati wilayah Indonesia, jumlah satelitnya beraksi tidak kurang dari 200 unit. Jumlah satelit Starlink tersebut jauh lebih banyak daripada nan dimiliki operator telekomunikasi Indonesia.
Selain itu, Elon Musk pernah menyampaikan, investasi nan dikucurkan untuk perusahan satelitnya tidak kurang US$ 30 miliar. Dengan kekuatan finansial nan dimilikinya, Elon Musk bisa mengembangkan teknologi dan memesan orbit satelit rendah ke The International Telecommunication Union (ITU).
"Jika memandang dari nilai investasinya dan orbit rendah nan diajukan ke ITU, jumlah tersebut terbilang sangat besar. Dan tak satu pun pelaku upaya telekomunikasi di Indonesia nan bisa menyaingi Starlink," tutur Heru.
Dengan sumberdaya nan miliki, dia melanjutkan, belum tentu Starlink tak melakukan predatory pricing dan monopoli. Dengan kekuatan finansial, teknologi dan akses terhadap regulator telekomunikasi seperti ITU, mereka miliki potensi serta prilaku untuk melakukan predatory pricing.
"Ketika pelaku upaya telekomunikasi di Indonesia sudah banyak nan bergelimpangan, Starlink berpotensi melakukan monopoli dan prilaku upaya tidak sehat," ujar Heru.
Layanan Direct to Cell Starlink bakal Mematikan Industri Telekomunikasi Indonesia
Heru juga meminta agar KPPU dapat memandang secara bening pasar internet broadband satelit. Tidak serta merta membandingkan kahadiran Starlink langsung membikin konsumen FTTH alias pengguna selular beranjak ke Starlink.
"Harusnya nan dilihat adalah berapa besar konsumen satelit broadband nan telah menghentikan jasa dari operator satelit nasional dan pindah ke Starlink," Heru memberikan saran.
Saat ini smartphone nan menghubungkan satelit Starlink langsung ke konsumen sudah sukses mereka buat. Heru meminta regulator kudu dapat memahami teknologi dan rencana besar Elon Musk nan bakal menghubungkan satelit ke telepon selular.
"Jika jasa direct to cell Starlink sudah tersedia, potensi pengguna selular Indonesia pindah ke Starlink sangat besar. Ini dampaknya bakal mematikan industri telekomunikasi Indonesia," dia mengingatkan.
Starlink Tak Bisa Diadu dengan Perusahaan Telekomunikasi Domestik
Saat ini Starlink sudah menjangkau sejumlah negara, namun tidak semua regulator mengizinkan Starlink beroperasi. Ada negara nan mengizinkan Starlink beroperasi, namun regulator telekomunikasinya membatasi jasa Starlink.
Heru menyebut mereka hanya mengizinkan Starlink beraksi jika bekerjasama dengan operator telekomunikasi nan sudah ada. Beberapa regulator telekomunikasi nan membatasi jasa Starlink seperti di beberapa negara Eropa dan Asia.
Kewajiban kerjasama itu menunjukkan regulator telekomunikasi di negara mengenai mempunyai keberpihakan kepada pelaku upaya telekomunikasi nan sudah ada.
"Hanya di Indonesia nan regulator telekomunikasinya paling terbuka dengan mengizinkan Starlink beraksi langsung untuk dapat melayani pengguna retail," kata Heru.
Ia menilai, tujuan regulator mewajibkan kerjasama dengan operator lokal agar industri telekomunikasi nan sudah ada tidak mati. Jika Starlink beraksi langsung, membikin operator telekomunikasi domestik mati.
"Tak bisa giant tech seperti Starlink diadu dengan pelaku upaya telekomunikasi domestik. Apalagi pelaku industri telekomunikasi di Indonesia kebanyakan UMKM. Pasti mereka bakal mati," Heru memungkaskan.
Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)
* Fakta alias Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran info nan beredar, silakan WA ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci nan diinginkan.