Liputan6.com, Jakarta - Seorang pejabat publik nan baru dilantik, sudah lazim mendapat apresiasi. Ini tak jarang jadi arena penyampaian harapan: Sang Pejabat bekerja baik, lancar dan tak menyalahgunakan kuasanya.
Momentumnya biasa dilakukan pasca upacara pelantikan. Diadakannya sesi pemberian selamat.
Dalam hitungan satu hingga puluhan simpatisan nan menyalami, memori di otak dapat mengenali dengan detil, kerabat nan menyapa. Tindakan ~menyambut dan membalas simpati~ dilakukan penuh kesadaran.
Seiring hitungannya nan bertambah~ratusan telah nyaris tercapai~ kesadaran mulai luntur. Pengenalan jadi kendur. Sosok nan diberi ucapan, tak selalu ingat dengan nan ada di hadapannya.
Bisa jadi memang lantaran tak kenal. Tapi terutama akibat memori nan tak sukses dibangkitkan. Ini juga sering terjadi pada resepsi pernikahan, dengan jumlah undangan nan berlimpah.
Tindakan ramah-tamah tanpa sadar, berubah jadi mekanis. Bergerak rutin layaknya mesin nan bertugas. Bersalaman, tersenyum, berlalu, salam, senyum, tukar orang. Demikian terus.
Rangkaiannya berulang, tanpa sepenuhnya ditopang kesadaran.
Keadaan ini nan mungkin nan disebut Christopher Schimming, 2022, dalam “Cognitive Overload: When Processing Information Becomes a Problem”, sebagai cognitive overload. Kejenuhan kognisi.
Yang jika digambarkan secara awam: tampil dalam keadaan terjaga, tapi separuh sadar. Respons tetap diberikan proporsional, namun diragukan dengan landasan kesadaran.
Seluruh keadaan di atas, salah satu penyebabnya: berjejalannya info nan datang. Kekerapan nan tak memberi keleluasaan mengenali informasi, seraya mencernanya. Refleks mekanis mengambil alih kuasa kesadaran.
Hari ini, keadaan manusia nan terus-menerus dibanjiri informasi, tak beda dari keadaan itu. Informasi rutin sehari-hari ~semacam: sasaran penyelesaian pekerjaan nan makin dekat, rapat di instansi di jam tertentu, agenda pertemuan dengan pengguna nan telah disepakati.
Juga anak alias Istri nan minta diantar ke dokter. Ini pun ditambah janji, pertemuan dengan alumni sekolah di malam harinya~ nan seluruhnya tak berakhir sebagai info di sekitar diri.
Turut membebani pula, info berasal luar. Wujudnya sebagai notifikasi beragam media sosial, jenis aplikasi shopping dan pelancar hidup, tawaran konsumsi produk nan terselip saat membaca buletin online.
Juga nan berbentuk analog: spanduk maupun iklan pengenalan kandidat politik, maupun himbauan pemerintah. Seluruhnya menuntut untuk dicerna, namun tak memberi waktu bagi perhatian, menelaah dengan seksama.
Dalam kerja otak nan kudu memproses semua info itu. Juga respons nan diharapkan segera, implikasinya tak sebatas bertubi-tubinya stimulus. Memori tersimpan dan mengenai info nan datang, turut terstimulasi jadi aktif.
Keterhubungan
Seseorang nan mendapat info soal diangkatnya intelektual cognitive science ~sebagai menteri dalam kabinet nan baru dilantik~ segera teraktifkan memorinya: beberapa bulan lampau, telah membeli kitab nan mengulas sistem kognitif, berikut langkah kerja otak. Tapi kitab itu belum sempat dibacanya.
Demikian juga info nan datang berikutnya, terus mengaktifkan memori-memori terpendam lainnya. Ibarat sebatang pohon nan dicabut dari tanah, akar dan cabang-cabang akarnya, turut terangkat.
Dalam gambaran awam, otak sekan meletup-letup. Sibuk dalam jaringan keterhubungan. Keterhubungan infomasi sekitar diri, info dari luar, maupun info nan telah lama tersimpan.
Di era digital, jumlahnya dilipatgandakan. Relevan dengan itu, Amie K, 2013, dalam “What Does it Mean to be “Connected” in Today’s Digital World?”, mengemukakan pandangannya.
Kurang lebih disebutkannya, “(keterhubungan itu) berkawan di Facebook, terhubung di LinkedIn, saling berkirim pesan di SnapChat, dan lainnya.
Dalam beberapa kasus, relasi digital apalagi jadi petunjuk untuk memvalidasi hubungan offline. Ini misalnya lewat penyataan: Anda tak betul-betul berkencan dengan pasangan Anda, selain jika itu "resmi di Facebook".
Uraian di atas dapat diartikan: ketika keterhubungan dalam konteks bukan media digital hanya terjadi dengan orang-orang nan telah jadi bagian hidup ~setidaknya telah dikenal~ hari ini, syarat itu absen.
Keterhubungan dapat dilakukan dengan siapa pun. Juga mencakup jumlah dan wilayah nan tak terbatas. Karenanya over-connected jadi keniscayaan.
Apa implikasi over-connected? Keterhubungan justru menghadirkan kesenyapan dan absennya kesadaran. Terdengar paradoks, namun faktual. Ini terjadi akibat relasi nan intensif, namun tak bermakna.
Argumentasinya, gimana mungkin relasi dengan siapa saja, dan dalam jangkauan jarak terjauh pun. Juga, relasi dalam keadaan perhatian nan sebagian besar dialokasikan pada orang-orang nan tak sepenuhnya dikenal dapat menghasilkan relasi bermakna?
Ini pun di tengah realitas: relasi digital kerap terbentuk lantaran kesamaan algoritma minat maupun perhatian. Orang lain hadir, lantaran saran algoritma platform digital.
Bukan relasi nan dikembangkan dari lintasan nan bergerak urut: dari keadaan tak saling kenal, ke keadaan nan intim.
Relevan dengan argumentasi di atas, Curt Steinhorst, 2024, dalam “Rekindling Humanity: Finding Personal Connection in A Digital World” memperjelasnya. Menurutnya, bumi digital memang menawarkan kesempatan keterhubungan nan tak terbatas.
Ini dapat dilakukan dengan menggunakan media sosial, aplikasi pengiriman pesan, perangkat konvensi video. Seluruhnya telah jadi realitas umum. Juga menjanjikan keterhubungan nan serba cepat.
Ini terjadi dengan teman, keluarga, dan kerabat. Tak peduli jarak fisiknya. Namun, keterhubungan digital dengan orang dikenal ini, kudu bersaing dengan bentuk-bentuk keterhubungan digital tak dikenal lainnya.
Relasi nan lebih berkarakteristik impersonal.
Cognitive Overload
Relasi impersonal macam di atas, tak jarang diwarnai distraksi digital nan bersaing berebut perhatian. Akibatnya membangun hubungan nan bermakna, jadi sulit.
Alih-alih terjalinnya hubungan nan erat, kekerapan notifikasi, email, peringatan media sosial, maupun aplikasi lainnya, menyerobot kesadaran.
Seluruhnya sekadar membentuk keterlibatan nan dangkal, interaksinya berkarakter permukaan. Tak ada tendensi nan melibatkan kuasa kesadaran.
Sebagai ilustrasi keadaan di atas, pengguna media digital nan intensif tak keberatan mengakui: komentar nan diberikannya pada konten, tak jarang sekedar penanda “belum berakhirnya relasi” dengan Sang Penggungah konten.
Juga like, diberikan untuk menyatakan “saya memandang unggahannmu”. Tak betul-betul suka alias kagum. Hal terburuknya, like juga bisa tersemat, lantaran tak sengaja mengetuk tombol suka alias tanda hati.
Dalam keadaan sejenis, jawaban pada WA pun sering bermaksud membungkam notifikasi nan terus menggema. Kehadirannya menimbulkan gangguan. Karenanya, relasi nan terbentuk tak lain relasi kosong bukan? Sepi dalam keriuhan.
Dalam implikasi berikutnya, cognitive overload ~yang kemudian dipahami sebagai akar hadirnya relasi kosong~ disebut Cristopher Schimming, melahirkan empat hal.
Pertama, kelumpuhan. Ini akibat otak tak bisa menangani suatu topik alias isu, lantaran kejenuhan akibat kelebihan beban. Otak memandang suatu peristiwa, seakan lebih rumit dibanding ketika otak tak jenuh.
Kedua, kemarahan. Ini terjadi ketika info tak sesuai dengan langkah berpikir alias emosi penerimanya. Seluruhnya dapat terjadi, akibat relasi impersonal nan dilatarbelakangi kebiasaan berbeda, dan belum ditoleransi.
Sebuah keadaan nan memicu kemarahan. Perasaan alias kepercayaan diri ditentang. Berulangkalinya pembahasan suatu topik, justru menimbulkan kekesalan alias kecemasan.
Ini dapat dilustrasikan, adanya produk nan tak sesuai selera, namun iklannya datang terus menerus. Juga jargon-jargon kosong pengundang support politik.
Selanjutnya nan ketiga, kepasifan. Dalam keadaan jenuh, akhirnya otak mengurangi beban, dengan mengikuti pendapat orang lain saja.
Mengalihkan pemberian opini nan terasa berat ~jadi ikut pengarahan orang lain~ adalah sistem termudah mengatasinya.
Maka nan terjadi, daripada sibuk mempersoalkan perselisihan nan sengit berlangsung, pilih saja pendapat nan banyak pengikutnya.
Ini pada akhirnya, keempat, terbentuknya pemahaman. Kepasifan nan mengurangi kejenuhan informasi, memberi ruang mengenali info lebih baik.
Pemrosesan info dapat dilakukan dengan mengandalkan masukan dari sumber terpercaya. Ini mengakumulasi pengetahuan.
Seluruhnya jadi perihal nan mengasyikkan dan membangun keutuhan. Terlebih, jika validitas informasinya meyakinkan.
Jalan Keluar
Mengembalikan diri pada langkah dan style mengumpulkan perincian visual, auditori, maupun tertulis dengan keluasaan nan memadai, lanjut Schimming, jadi jalan keluar mengatasi kejenuhan informasi.
Seluruh langkah di atas pada akhirnya, mereduksi keadaan over-connected. Paradoks over-connected berupa tiadanya keterhubungan nan bermakna, jadi realitas nan melelahkan.
Jumlah screntime nan tinggi, juga teralihkannya perhatian dari hal-hal nan analog, berujung pada kematian relasi.
Yang jikalau relasi itu ada, tak sepenuhnya ditopang kesadaran. Ditambah pula, tinggi peran algoritma. Karenanya, hidup singkat ini mestinya tak berhujung sebagai over-connected.
Yang sudah pasti ada di ujung, tak lain hanya kekosongan bukan?