JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid membongkar tindakan akrobatik di kembali terbitnya 263 bagian bersertifikat HBG dan 17 bagian SHM mengenai kasus pembangunan PIK 2. Dalam perihal ini, KPA meyakini ada sesuatu nan tidak beres.
“Atas situasi ini, KPA mendesak Menteri Nusron Wahid di bawah Komando Presiden Prabowo membongkar akrobatik HGB dan SHM di PIK 2 ini. Apalagi rakyat kecil, nelayan dan petani sudah jadi korban akibat PIK 2,” ujar Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (21/1/2024).
Berdasarkan aturan, HGB tidak bisa diterbitkan di atas laut alias perairan, karena merujuk pada PP No.18/2021 jo Permen ATR No.18/2021 bahwa kewenangan atas tanah berupa gedung (HGB) hanya bisa terbit di wilayah pesisir pantai, bukan di atas laut.
Kedua, patokan selanjutnya, di area pesisir pantai sudah diatur bahwa hanya garis sempadan pantai nan boleh disertifikatkan dengan minimal jaraknya 100 meter dari titik surut. Dengan demikian, pagar (bangunan) di laut jelas merupakan corak pelanggaran.
“Jika betul bahwa HGB tersebut berada di atas wilayah perairan, maka ada praktik akrobatik norma secara kolektif nan melatarbelakanginya,” katanya.
Praktek akrobatik ini, menurut KPA, diduga melibatkan perusahaan dan Pemda dengan langkah mengubah tata ruang darat dan laut, sehingga garis pemisah laut berubah. Dengan demikian otomatis sempadan pantai berubah.
Kedua, BPN memberi izin tata ruang baru (PKKPR), lantaran ada perubahan dari Pemda. Ketiga, ada kesengajaan melakukan pembelokan info dalam memberikan Risalah Panitia A mengenai dengan permohonan HGB. Dalam perihal ini dapat dipastikan ada pembelokan info mengenai riwayat tanah, kondisi tanah, pemisah tanah dll nan disebut dengan info fisik. Keempat, dasar risalah nan salah menjadi bahan terbitnya SK Penerbitan HGB.
“Terbitnya 263 bagian bersertifikat HBG dan 17 bagian SHM menunjukkan ada akrobatik norma dan praktik mafia tanah. Pemecahan HGB menjadi bidang-bidang mini dan banyak jumlah sertifikatnya biasanya akrobatik norma lainnya agar prosesnya cukup diurus di tingkat Kantor Pertanahan Tanggerang alias Kanwil Banten, tanpa perlu ke pusat. Itu adalah gotong royong berjamaah dalam melakukan kesalahan norma pertanahan dari sisi Pemda, BPN, KKP, termasuk KLHK (sekarang Kementrian Kehutanan),” terangnya.
Kepada semua pihak nan terlibat, Dewi mengingatkan bahwa tindakan memagari laut sehingga nelayan terdampak tidak bisa melaut merupakan corak pelanggaran norma dan konstitusi.
Pasal 33 Ayat 3, menyebut bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “UUPA 1960 sebagai terjemahan Pasal 33 Ayat 3, tidak hanya mengatur soal kewenangan atas tanah, tetapi juga hak-hak atas air nan menyangkut kewenangan guna air, serta kewenangan pemeliharaan dan penangkapan ikan,” ucapnya.
Dengan demikian, terang sudah bahwa pemagaran laut sepanjang 30 Km telah melanggar konsitusionalitas nelayan di perairan-laut Tanggerang. Padahal, sejak 1960 para pendiri bangsa sudah mengingatkan, monopoli swasta atas sumber-sumber agraria tidak diperkenankan ada bumi pertiwi ini.
Area PIK 2 semestinya dijadikan objek reforma agraria sehingga petani, nelayan dan masyarakat miskin di sana mendapatkan kepastian kewenangan atas tanah bagi perumahan, pertaniannya dan wilayah tangkapnya. Perpres Reforma Agraria telah memberikan jalan bagi petani dan nelayan mini untuk menjadi subyek RA.
Di sisi lain, area PIK 2 nan tetap merupakan area hutan, dan tidak tumpang tindih dengan penguasaan rakyat, sekaligus merupakan akses nelayan ke laut, sebaiknya dijadikan area konservasi penyangga Kota Jakarta dan Pulau Jawa oleh Kemenhut. Bukan dikomersilkan ke pengusaha.
“Sebagaimana sering menjadi argumen KLHK selama pemerintahan Jokowi, bukankah Pulau Jawa tutupan hutannya kurang dari 30 persen, kenapa untuk Aguan tetap saja area rimba diberikan konsesinya demi PIK 2?”
The post KPA Desak Nusron Wahid Bongkar Aksi Akrobatik di Balik Sertifikat HGB Pagar Laut appeared first on Kabarjatim.com.