Liputan6.com, Jakarta - Sejak 2023, Google dituding melakukan monopoli dengan beragam produk dan layanan.
Salah satu nan paling hangat adalah produk mesin pencarinya, Google Chrome. Departemen Kehakiman AS (DOJ) pun mengatakan, Google melakukan monopoli terlarangan dalam perihal mesin pencarian hingga pengadilan akhirnya menyetujui perihal ini Agustus lalu.
Atas perihal tersebut, DOJ mau agar Google menjual mesin pencari populernya, Chrome. Meski begitu, Google meyakini jika penjualan Chrome justru bakal merusak keamanan mesin pencari tersebut. Google juga menolak pendapat tersebut.
Google pun berupaya mengusulkan banding atas perihal ini. Meski begitu, sebelum mengusulkan banding, Google wajib mengusulkan proposal penyelesaian.
Proposal dari Google ini menguraikan langkah-langkah nan bisa diambil perusahaan untuk memperbaiki masalah monopoli terlarangan tersebut.
Terbaru, mengutip Apple Insider, Selasa (24/12/2024), Google menjelaskan, mereka bisa mengubah perjanjian tentang peramban, seperti Apple dan Mozilla. Berdasarkan usulan ini, perusahaan-perusahaan mempunyai pilihan untuk menerapkan mesin pencari default nan berbeda pada platform berbeda.
Pengguna bisa mengubah penyedia pencarian default mereka tiap 12 bulan. Sekadar informasi, pada 2022, Google bayar Apple sebesar USD 20 miliar agar bisa menjadi mesin pencari default di platformnya.
Kesepakatan ini diungkapkan dalam sebuah pernyataan oleh Wakil Presiden Senior Layanan Apple Eddie Cue selama berlangsungnya proses hukum.
Sebagai support terhadap perjuangan anti rasisme Google melalui aplikasinya, Chrome mengganti pengkodean ‘Blacklist’ menjadi ‘Blocklist’.
Merugikan Google
Langkah terbaru nan diusulkan Google bakal memungkinkan Apple untuk menerapkan satu mesin pencari default pada iPhone dan mesin pencari lain untuk iPad.
Sebelumnya, pembesut smartphone Android lebih dulu memungkinkan perangkat bisa mempunyai dua mesin pencari alias lebih.
Kendati demikian, Google menyebut, jika keputusan ini mungkin bisa merugikan mitra mereka. "Karena mengatur langkah mereka memilih mesin pencari terbaik bagi pengguna mereka."
Google juga tidak setuju dengan keputusan DOJ dalam kasus antimonopoli ini. Menurut Google, kasus ini terlalu luas dan dapat merugikan konsumen Amerika serta melemahkan kepemimpinan teknologi dunia Amerika.
Bagi Google, usulan DOJ nan mengharuskan Google untuk membagi kueri pencarian pengguna kepada para pesing, baik asing maupun domestik, bisa membatasi keahlian perusahaan untuk meningkatkan produk.
Google mengklaim, mereka sukses lantaran berinovasi dan menggulirkan investasi, bukan lantaran memaksa pengguna berjuntai pada mesin pencari Google.
Keputusan DOJ juga mendapat kritik keras dari Google. Menurut perusahaan internet ini, lanskap mesin pencari sifatnya dinamis. Google beranggapan, munculnya AI generatif juga mengubah pasar mesin pencari secara signifikan.
Kasus Antimonopoli Lainnya nan Libatkan Google
Dalam gugatan antimonopoli lainnya, termasuk jasa periklanan Google, Departemen Kehakiman menjuluki perusahaan tersebut sudah tiga kali melakukan monopoli.
DOJ menyebut, Google menghubungkan teknologi iklannya sehingga menghalang pertumbuhan produk pesaing dan memaksa penerbit untuk mengandalkan sistem Google jika mau dapat iklan.
DOJ juga mau agar Google menjual web browsing Chrome. Google pun menganggap tindakan ini justru merusak keamanan Chrome.
Apple juga Berkasus Antimonopoli
Pada Maret lalu, DOJ dengan beberapa negara bagian AS mengusulkan gugatan antimonopoli terhadap Apple.
Saat itu Apple dituding melakukan praktik monopoli. Apple juga meminta pengadil membatalkan kasus tersebut.
Gugatan terhadap Apple menuding perusahaan melakukan monopoli lantaran membatasi iMessage hanya untuk pengguna iPhone sekaligus mencegah pihak ketiga mengakses teknologi NFC iPhone.
Selanjutnya, untuk mengatasi tudingan, Apple memperkenalkan teknologi RCS melalui iOS 18.
Hasil gugatan antimonopoli Google kemungkinan bakal memengaruhi hasil kasus terhadap Apple hingga untung atas layanannya.