Liputan6.com, Jakarta - TikTok kembali memanjakan penggunanya dengan fitur terbaru. Kali ini, platform berbagi video pendek tersebut resmi meluncurkan fitur obrolan grup (group chat) nan memungkinkan pengguna melakukan obrolan seru berbareng teman-teman dalam satu grup.
Sebelumnya, fitur ini tetap dalam tahap uji coba dan hanya dapat diakses oleh sebagian pengguna.
Namun kini, ByteDance selaku induk perusahaan TikTok telah membuka akses fitur group chat secara lebih luas. Pengguna TikTok sekarang dapat menciptakan grup obrolan hingga beranggotakan 32 orang.
Untuk menikmati fitur baru ini, pengguna bisa mengaksesnya melalui beberapa cara.
Salah satunya adalah dengan membuka kotak masuk, lampau klik tombol "Chat" nan terletak di bagian atas layar. Setelah itu, pilih kontak nan mau Anda ajak ngobrol dan klik opsi "Mulai obrolan grup".
Cara lain nan tak kalah mudah adalah dengan memanfaatkan fitur berbagi video.
Ketika Anda menemukan video menarik dan mau membujuk teman-teman untuk berdiskusi, cukup klik tombol "Bagikan" lampau pilih opsi "Buat obrolan grup".
Selanjutnya, pilih teman-teman nan mau Anda ajak sertakan dan mulai obrolan seru.
Kehadiran fitur obrolan grup ini tentunya disambut antusias oleh para pengguna TikTok. Sebab, fitur ini memungkinkan pengguna untuk lebih mudah berinteraksi dan membangun organisasi nan lebih erat.
Dengan adanya fitur ini, diharapkan TikTok dapat semakin memantapkan posisinya sebagai platform video pendek nan paling digemari generasi muda.
* Follow Official WA Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Tren Marriage Is Scary nan Viral di TikTok
Di sisi lain, tren media sosial acap kali berganti dari waktu ke waktu, dan "Marriage Is Scary" tengah mengambil alih FYP TikTok sejak beberapa waktu lalu.
Tren nan terjemahan secara harfiahnya berfaedah "Pernikahan Itu Menakutkan" tersebut mengungkap argumen sejumlah pengguna wanita enggan mengikat diri dalam janji sehidup semati dengan pasangan.
Unggahan biasanya dimulai dengan "Marriage Is Scary," disambung, "What If (bagaimana jika)," sebelum membeberkan argumen pribadi seseorang takut menikah.
Ada nan cemas pasangannya tidak bisa jadi pembela kekal di depan keluarga, sementara tidak sedikit pula nan takut punya suami dengan preferensi berbeda.
Preferensi di sini kebanyakan mengenai perihal keseharian, seperti menganggap skincare dan makeup tidak penting, sampai tanggung jawab mengurus anak nan tidak seimbang.
"Denger dari sebelum-sebelumnya, laki-laki red flags keliatan setelah nikah lantaran sebelum nikah dia pinter nutup-nutupin," sebut seorang pengguna TikTok.
Sebagai tandingan, sebenarnya tidak sedikit pula warganet nan berbagi kesenangan setelah menikah.
"Menikah itu emang menakutkan, tapi kalo dijalanin sama orang nan tepat, pasti tetep bisa dilewatin. Penting buat skrining di awal dan ga buru-buru nikah lantaran umur alias tuntutan dari luar," menurut seorang TikToker.
Nyatanya, pernyataan takut menikah tidak semata jadi narasi media sosial yang terlupa dalam beberapa waktu. Isu tersebut telah diulas banyak publikasi dunia, terutama di negara-negara dengan tingkat kelahiran bayi nan menurun, lantaran kian sedikit orang memutuskan menikah, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.
Anak Muda Enggan Menikah
Tahun lalu, New York Times menerbitkan tulisan nan mengulas argumen anak-anak muda di China enggan menikah. Melansir situs webnya, Rabu (14/8/2024), disebutkan bahwa tiga tahun terakhir merupakan "waktu nan brutal" bagi kalangan dewasa muda di Tiongkok.
"Angka pengangguran melonjak di tengah gelombang PHK perusahaan. Pembatasan ketat akibat virus corona telah berakhir, tapi tidak dengan rasa ketidakpastian tentang masa depan nan ditimbulkan. Bagi banyak orang, kekacauan baru-baru ini jadi argumen lain untuk menunda keputusan krusial dalam hidup (menikah), nan berkontribusi pada rekor terendah nomor pernikahan dan mempersulit upaya pemerintah mencegah krisis demografi," tulis outlet tersebut.
Melihat meningkatnya PHK, Grace Zhang, seorang pekerja teknologi nan telah lama bersikap ambivalen tentang pernikahan, bertanya-tanya apakah pekerjaannya cukup kondusif untuk menghidupi family di masa depan. Ia punya pacar, tapi tidak berencana menikah, meski ayahnya sering menasihatinya bahwa sudah waktunya untuk dia berumah tangga.
"Ketidakstabilan seperti ini dalam hidup bakal membikin orang semakin takut membikin perubahan besar dalam hidupnya," katanya.
Jumlah Pernikahan Turun dari Tahun ke Tahun
Jumlah pernikahan di China menurun selama sembilan tahun berturut-turut, turun hingga setengahnya dalam waktu kurang dari satu dekade. Pada 2022, sekitar 6,8 juta pasangan mendaftarkan diri untuk menikah, jumlah terendah sejak pencatatan dimulai pada 1986, turun dari 13,5 juta pada 2013, menurut info pemerintah China nan dirilis Juni 2023.
Meski jumlahnya telah meningkat pada 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, lebih banyak pernikahan nan berhujung juga. Pada kuartal pertama tahun lalu, 40 ribu pasangan lebih banyak menikah dibandingkan dengan periode nan sama tahun sebelumnya, sementara perceraian meningkat sebesar 127 ribu.
Tendensi serupa telah dikabarkan dari Jepang selama bertahun-tahun. Menurut survei oleh Recruit pada September 2023, persentase penduduk Jepang berumur 20 hingga 49 tahun nan belum menikah, namun "saat ini menjalin hubungan" adalah 29,7 persen, lapor Nippon.
Sebaliknya, responden nan belum pernah menjalin hubungan mencapai 34,1 persen, nomor tertinggi sejak survei ini dimulai. Persentase mereka nan "ingin menikah (pada suatu saat)," masing-masing adalah 49,3 persen untuk wanita dan laki-laki 43,5 persen.
Alasan paling umum nan dikemukakan 40,5 persen wanita mengenai argumen mereka tidak mau menikah adalah perihal itu "membatasi aktivitas dan style hidup saya." Sementara, argumen utama nan dikemukakan 42,5 persen laki-laki adalah "kehilangan kebebasan finansial."
Bagaimana dengan Indonesia?
Dari dalam negeri, nomor pernikahan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, perihal ini dipicu adanya perubahan persepsi tentang menikah.
"Dulu pernikahan setahun 2 juta lebih, sekarang meski jumlah usia nikahnya tetap cukup besar, tapi hanya sekitar 1,5 sampai 1,7 juta," kata master Hasto dalam saat menyambangi Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada Rabu, 26 Juni 2024, rangkum kanal Health Liputan6.com.
Ia memaparkan, tujuan pernikahan di Indonesia kebanyakan untuk prokreasi, nan artinya mendapatkan keturunan. "Ada juga nan rekreasi, agar hubungan suami-istri sah. Ada yang security, yaitu agar bisa mendapat perlindungan,” paparnya.
Saat ini, menurut dia, terdapat perubahan persepsi tentang pernikahan. Pernikahan sekarang dianggap sebagai tradisi nan tidak kudu dilakukan. Ada beberapa penelitian menemukan bahwa kemauan menikah mengalami penurunan sehingga Total Fertility Rate (TFR) ada di nomor 2,18.
Hasto turut menghimbau remaja agar jangan menikah terlalu muda. Pasalnya, ada beragam potensi masalah nan dapat terjadi pada kehamilan usia dini.
Infografis Larangan Aplikasi TikTok di 10 Negara Plus Uni Eropa. (Liputan6.com/Trieyasni)
* Fakta alias Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran info nan beredar, silakan WA ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci nan diinginkan.