Liputan6.com, Jakarta - Cloudflare baru saja merilis studi baru berfokus pada keamanan siber di Asia Pasifik, berjudul “Navigating the New Security Landscape: Asia Pacific Cybersecurity Readiness Survey”.
Dalam laporan Cloudflare ini, perusahaan membagikan info terbaru tentang kesiapan organisasi berhadapan dengan ancaman siber, seperti ransomware, pelanggaran data, dan kompleksitas disebabkan oleh kepintaran buatan (AI).
Pelanggaran Data Meningkat
Survei menemukan, 41 persen responden di Asia Pasifik mengatakan organisasi mereka mengalami pelanggaran data dalam 12 bulan terakhir.
"47 persen mengindikasikan lebih dari 10 pelanggaran data," tulis Cloudflare dalam keterangan resminya, Sabtu (12/10/2024).
Perusahaan menyebutkan, "dari industri tersebut, pelanggaran info terbanyak termasuk Konstruksi dan Real Estate (56 persen), Perjalanan dan Pariwisata (51 persen), serta Layanan Keuangan (51 persen)."
Dalam aksinya, penjahat siber paling sering menargetkan info pengguna (67 persen), kredensial akses pengguna (58 persen), dan info finansial (55 persen).
"Studi ini juga mengungkapkan, 87 persen responden cemas dengan AI meningkatkan pelanggaran info kian kompleks dan parah," tulis mereka.
AI: Mengubah Lanskap Ancaman
Walaupun AI membantu dalam meningkatkan efisiensi organisasi, tidak bisa dipungkiri tetap ada kekhawatiran bakal penjahat siber berpotensi semakin memanfaatkan teknologi ini.
"50 persen responden kami memperkirakan, AI bakal digunakan untuk membobol kata sandi alias kode enkripsi," jelas Cloudflare.
Selain itu, ada sekitar 47 persen percaya AI bakal menambah serangan phishing dan rekayasa sosial, sementara 44 persen memperkirakan AI bakal memperkuat serangan DDoS.
Terakhir, 40 persen memandang AI berkedudukan dalam menciptakan deepfake dan memfasilitasi terjadinya pelanggaran privasi.
Menghadapi ancaman nan terus berkembang dan beragam ini, 70 persen responden melaporkan organisasi mereka sedang menyesuaikan langkah mereka beroperasi.
Bidang utama dipengaruhi oleh AI termasuk tata kelola dan pemenuhan izin (40 persen), strategi keamanan siber (39 persen), dan keterlibatan vendor (36 persen).
"Pemimpin keamanan siber kudu bersiap untuk menghadapi akibat didorong oleh AI, dengan setiap respondennya berambisi untuk menerapkan setidaknya satu perangkat alias langkah keamanan mengenai AI," paparnya.
Karena itu, prioritas utama termasuk merekrut analis AI generatif (45 persen), berinvestasi dalam sistem penemuan dan respons ancaman (40 persen), serta meningkatkan sistem SIEM (40 persen).
"Vendor TI tetap penting, lantaran 66 persen responden telah mencari solusi AI dari mereka."