Jakarta, CNN Indonesia --
Yongki Komaladi, pemilik brand sepatu lokal Yongki Komaladi, ikut mengomentari penutupan pabrik PT Sepatu Bata Tbk nan berimbas pada PHK 233 pegawai.
Yongki mengungkapkan sejumlah tantangan memang dihadapi industri dasar kaki di RI. Tantangan mulai dari persoalan bahan baku nan tetap banyak impor, hingga persoalan tenaga kerja dan kebijakan pemerintah.
"Menurut saya, bahan baku itu salah satu perihal nan susah didapat jika di produksi lokal. Hampir 90 persen memang produk dari luar, utamanya China," ujar Yongki, Rabu (15/5), mengutip CNBC Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi jika mengenai Bata, setahu saya Bata juga impor barang-barang dari seluruh negara nan mereka punya asosiasi sendiri, dari Malaysia, India, Singapura, mereka saling berbagi cerita dan mereka bisa membeli barang-barang dari luar," sambungnya.
Menurutnya, perlu dilihat pula dari sisi tenaga kerjanya, apakah tenaga kerja di Tanah Air cukup potensial dibandingkan negara lain.
"Dan gimana mengenai kebijakan juga nan kudu dipikirkan, lantaran sekarang ini kita boleh dibilang 70 persen rata-rata produk itu bahan dari luar, tenaga kerjanya pun potensial sebesar apa, apakah seprofesional di negara lain. Hal-hal itu menjadi sesuatu nan kudu mereka pikirkan kembali efisiensi dan segala macamnya," jelas Yongki.
Ia mengungkap persoalan di industri dasar kaki tak hanya dialami Bata, namun juga UMKM dasar kaki nan menghadapi banyak tantangan.
Salah satunya mengenai bahan baku hingga pasar nan diserbu produk impor, sehingga memerlukan support izin pemerintah.=
"Saya merasa sayang sekali jika UMKM nan sangat mengandalkan jual di lokal, pasti jauh lebih susah lagi dibandingkan Bata. Ini juga menjadi PR kita berbareng bahwa apakah ini industri nan cukup punya kepadatan tenaga kerja nan luar biasa, kudu dipikirkan. Perusahaan besar pasti punya strategi-strategi tertentu," ujar dia lebih lanjut.
Ia menekankan bahwa pentingnya memikirkan berbareng gimana langkah mengatasi kejadian maraknya penutupan pabrik ini, jangan hanya dilihat dari karena alias hasilnya saja, melainkan dipikirkan gimana caranya menyiasati agar kejadian itu tidak terulang pada UMKM.
Yongki memprediksi bahwa kondisi ini ada kemungkinan bersambung ke merek lainnya, tidak hanya Bata. Sebab katanya, saat ini sudah banyak sekali UMKM nan teriak 'tidak sanggup' menjalankan bisnisnya. Mereka merasa tidak terfasilitasi dan didukung oleh pemerintah.
"Contohnya, banyak UMKM nan mau membranding produknya tapi kalah dengan brand-brand dari luar negeri. Kenapa gak difasilitasi masuk ke mal alias dept store. Tidak hanya pameran nan hanya seminggu, tapi dikasih tempat di mal-mal, kan bisa bekerjasama dengan pusat perbelanjaan. Supaya produk lokal sendiri dicintai," ucapnya.
[Gambas:Video CNN]
"Saya lihat mal-mal hanya memberikan tempat untuk brand-brand nan ternama, sedangkan UMKM juga padat karya nan mesti didukung. Jadi kudu dipikirkan kesinambungan selama mereka menjadi produksi lokal nan semestinya dicintai dan dikenal ke negara lain," imbuh dia.
Bukan tanpa alasan, perihal itu lantaran dia memandang sendiri banyak brand lokal nan belum terkenal, nan akhirnya tidak bisa melanjutkan produksi lantaran tidak menerima banyak dukungan.
Kendati demikian, Yongki tetap mengingatkan kepada pelaku UMKM untuk merubah pola berpikirnya. Jika sebelumnya berpikir hanya menunggu kesempatan, sekarang mereka kudu berpikir gimana caranya menjemput kesempatan tersebut.
"Jangan hanya nunggu bola, kudu jemput bolanya. Dirubah gimana pola pikir mereka sehari-hari. Mereka kudu punya wadah nan bisa membentuk pribadi mereka berubah dengan keadaan era nan begitu keras dan tidak cukup welcome semua orang bisa masuk," pungkasnya.
Produsen sepatu legendaris nan sudah ada di Tanah Air sejak 1931, Bata menutup pabrik mereka di Purwakarta karena terus merugi per 30 April 2024.
Corporate Secretary Sepatu Bata Hatta Tutuko menuturkan pihaknya telah melakukan beragam upaya selama empat tahun terakhir di tengah kerugian dan tantangan industri akibat pandemi Covid-19. Di satu sisi, perubahan perilaku konsumen nan begitu sigap juga menjadi tantangan.
Selain itu, permintaan pengguna terhadap jenis produk nan dibuat di pabrik Purwakarta terus menurun. Karenanya, perseroan pun tak mau kembali melempar dadu, mereka memilih menutup pabrik.
"Dengan adanya keputusan ini, maka perseroan tidak dapat melanjutkan produksi di pabrik Purwakarta," katanya seperti dikutip dari keterbukaan info Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (3/5).
Kendati, dia tak merinci berapa kerugian nan diderita oleh perusahaan. Hatta hanya mengatakan kapabilitas produksi pabrik jauh melampaui kebutuhan nan bisa diperoleh secara berkepanjangan dari pemasok lokal di Indonesia.
(del/agt)