Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memutuskan untuk mencabut status internasional 18 bandara di Indonesia. Saat ini, airport internasional di Indonesia tinggal berjumlah 17 saja.
Keputusan itu tertuang lewat Keputusan Menteri Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional nan diterbitkan pada 2 April 2024. Alasannya, airport tersebut hanya hanya beberapa kali melakukan penerbangan internasional.
Bahkan, Kemenhub mencatat ada airport nan sama sekali tak mempunyai pelayanan penerbangan internasional. Tentunya itu membikin operasional airport menjadi tidak efektif serta tak efisien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan pencabutan status Internasional dari 18 airport itu memberikan untung bagi operator maupun maskapai penerbangan.
Menurutnya, operator airport bakal lebih efisien lantaran tak perlu menyiapkan banyak personil padahal peminatnya di airport tersebut tidak banyak.
Sementara, maskapai penerbangan bakal lebih sehat lantaran tidak perlu menyiapkan pesawat untuk penerbangan internasional nan penumpangnya hanya sedikit.
"Operator airport lebih efisien, maskapai apalagi bisa punya kesempatan lebih sehat lantaran bisa melayani penerbangan domestik dengan konsep hub dan spoke," ujar Adita kepada CNNIndonesia.com.
Lalu, apa untung dan rugi pencabutan status 18 airport internasional ini?
Pengamat Transportasi dan Perkotaan Yayat Supriatna menegaskan kebijakan tersebut tentu mengurangi beban operator airport ialah Angkasa Pura I dan II nan saat ini sudah dimerger menjadi InJourney Airport.
Menurut Yayat, akomodasi hingga pemeliharaan airport internasional kudu mengikuti standar internasional nan tentu memerlukan anggaran nan cukup besar.
"Dengan status internasional, Angkasa Pura kudu mengeluarkan begitu banyak anggaran untuk menjaga standar internasional, personilnya (SDM), peralatannya, kelengkapannya kudu mengikuti internasional dan itu cost," jelasnya.
Apalagi, airport nan dihapus status internasionalnya itu selama ini tidak maksimal melayani penerbangan luar negeri, alias apalagi tidak ada. Karenanya, dia menilai kebijakan Kemenhub tersebut sudah tepat.
"Jadi buat apa branding internasional, tapi penerbangannya nggak ada. Hanya bakal menjadi beban keuangan. Jadi bagi airport cost mereka tinggi, rugi mereka," imbuhnya.
Selain itu, Yayat menilai selama ini ke-18 airport internasional nan dicabut statusnya tersebut tidak memberikan kontribusi bagi pemasukan maskapai. Sebab, pemerintah wilayah (Pemda) nan ada di wilayah itu tidak memberikan dukungan.
"Harusnya Pemda itu melakukan perannya. Misalnya, kembangkan daerahnya menjadi destinasi wisata, dibuat festival, dibuat rame, membangun kerja sama, contoh di Manado, Sam Ratulangi, destinasi wisatanya banyak dikembangkan sehingga potensi pasarnya banyak dan dia membikin MoU dengan beberapa negara. Harusnya itu nan dilakukan pemda-pemda lain itu," ujar Yayat.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang menilai penghapusan status internasional 18 airport sudah tepat karena pemasukan tak sebanding dengan biaya operasional nan dikeluarkan.
Menurutnya, airport internasional harusnya bisa mengerek devisa negara seiring masuknya turis. "Tapi rupanya terbalik. Malah justru orang-orang kita nan pergi ke luar negeri," jelasnya.
Ia mengatakan 18 airport nan status internasionalnya dihapus selama ini banyak hanya melayani penerbangan ke Asia Tenggara. Makanya banyak orang Indonesia nan pergi ke negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura sekadar hanya untuk shopping sehingga nan diuntungkan justru negara-negara tersebut.
Deddy menilai jika airport internasional dibatasi, penerbangan domestik bakal naik lantaran turis asing bakal transit menggunakan penerbangan lokal ke destinasi utama.
"Pemerintah pasti bakal berpikir gimana caranya mendatangkan devisa besar ke dalam negeri, bukan mempermudah mengeluarkan devisa ke luar negeri," katanya.
Senada, Ketua Institut Studi Transportasi Ki Darmaningtyas mengatakan penetapan status airport internasional awalnya ditujukan untuk menarik visitor asing ke Indonesia lantaran dengan penerbangan langsung diharapkan biayanya lebih murah.
Namun dalam praktiknya nan terjadi adalah keberadaan airport internasional di sejumlah wilayah menarik penduduk setempat berekreasi ke luar negeri, terutama ke negara-negara ASEAN.
Akhirnya nan terjadi penumpang ke luar negeri lebih banyak daripada penumpang nan datang dari luar negeri.
Ia mencontohkan Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang di mana lebih banyak penduduk Semarang pergi ke Singapura, dibandingkan orang Singapura ke Semarang.
"Maka sebetulnya kita rugi dengan pelabelan airport internasional di sejumlah wilayah, lantaran keberadaan airport internasional itu justru menyedot devisa kita ke luar, bukan sebaliknya," katanya.
Bersambung ke laman berikutnya...