UMP 2025 Naik 6,5 Persen, Seberapa Nyata Ancaman PHK?

Sedang Trending 2 minggu yang lalu

Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah menetapkan kenaikan bayaran minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen. Besaran kenaikan upah pekerja ini dipukul rata bagi seluruh provinsi di Indonesia.

Penetapan kenaikan sebesar 6,5 persen itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum 2025.

Atas kenaikan ini, sejumlah pihak mengkhawatirkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Salah satunya datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani merasa kenaikan UMP 6,5 persen terlalu tinggi. Kebijakan tersebut dinilai bakal berakibat langsung terhadap biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional, terutama di sektor padat karya.

"Hal ini dikhawatirkan bakal dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja serta menghalang pertumbuhan lapangan kerja baru," ujar dia dalam keterangan resmi, Sabtu (30/11).

Kenaikan UMP memang selalu menjadi polemik antara pekerja dan kalangan pengusaha.

Di sisi lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai nomor kenaikan 6,5 persen adalah keputusan moderat nan tak hanya mempertimbangkan keahlian pengusaha, namun juga memberikan ruang bagi peningkatan kesejahteraan buruh.

"Kenaikan bayaran minimum ini bukan hanya soal angka, tetapi juga menyangkut keadilan dan kesejahteraan pekerja. Kami mengapresiasi keberanian Presiden Prabowo dalam memihak rakyat pekerja," tegas Presiden KSPI Said Iqbal melalui keterangan resmi.

Merespon kekhawatiran pengusaha, pemerintah apalagi berencana untuk membentuk Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) usai menetapkan kenaikan UMP 6,5 persen.

"Pemerintah bakal membikin satgas mengenai dengan PHK," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di sela-sela Rapimnas Kadin 2024 di Jakarta, Minggu (1/12), melansir Antara.

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli pun membeberkan skema unik bagi pengusaha nan tak bisa bayar kenaikan 6,5 persen UMP di 2025. Ia menegaskan langkah nan ini bukan berbentuk Satgas PHK.

"Memang beda. Kalau Satgas PHK itu kita tetap perlu matangkan lantaran itu lebih besar lagi, perlu melibatkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan seterusnya," ujar Yassierli dalam konvensi pers di Kemnaker, Jakarta Selatan, Rabu (4/12).

"Kalau ini lebih spesifik treatment untuk pelaku upaya nan saat ini kesulitan finansial. Sehingga jika penerapan UMP (2025) itu sekarang, bisa jadi mereka tidak mampu," imbuhnya.

Yassierli mengungkapkan dia berbareng Airlangga bakal berkomunikasi dengan pengusaha untuk mencari jalan keluar. Ia percaya ada banyak opsi nan bisa ditempuh bagi perusahaan nan susah bayar besaran UMP 2025.

Lantas, benarkah kenaikan UMP 6,5 persen berisiko pada PHK massal seperti nan ditakutkan para pengusaha?

Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI) Ronny P. Sasmita beranggapan usulan kenaikan UMP sebesar 6,5 persen sudah cukup moderat, di mana nomor itu tidak terlalu tinggi dan cukup pro terhadap pekerja.

Bahkan, kenaikan UMP dinilai semestinya lebih tinggi dari 6,5 persen, seperti di atas 7 persen-8 persen. Menurut Ronny, kenaikan besaran UMP nan lebih tinggi diperlukan lantaran kondisi daya beli masyarakat nan terus menurun.

"Nah, ini hanya masalah perang narasi aja antara pihak pemerintah, pengusaha, dan pihak pekerja. Ini dalam irit saya, nan diusulkan oleh pemerintahan (Presiden) Prabowo 6,5 itu sudah cukup moderat. Tidak terlalu tinggi dan cukup pro juga terhadap pekerja," ujar Ronny kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/12).

"Karena Prabowo juga mau ada kebijakan untuk menetralisasi itu. Seperti rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), pencabutan subsidi BBM dan lain-lain. Jadi mungkin ada akibat itu (PHK)," imbuhnya.

Ronny menilai akibat tersebut bakal semakin berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, juga terhadap performa dan keahlian perusahaan itu sendiri. Semakin perusahaan meminta kenaikan UMP tidak terlalu tinggi, maka daya beli masyarakat juga bakal terpengaruh, terutama para pekerja, nan pada akhirnya mempengaruhi performa perusahaan.

Ia menjelaskan sebagian pekerja adalah konsumen dari perusahaan. Sehingga menurutnya, kenaikan UMP hingga 7 persen-8 persen sebenarnya justru malah bakal membantu perusahaan. Sebab, perihal itu bakal membantu mendongkrak daya beli pekerja hingga keluarganya, nan kemudian digunakan untuk mengkonsumsi produk dari perusahaan itu sendiri.

"Mulai dari produk tekstil, produk manufaktur nan lain, produk jasa, dan lain-lain, bakal dipakai juga ke situ," tuturnya.


Sumber cnnindonesia.com
cnnindonesia.com