Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melakukan standarisasi kelas jasa 1,2, dan 3 akomodasi rawat inap BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Standarisasi ini sudah dia atur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kendati demikian, pengamat dan asosiasi rumah sakit menyebut ada sejumlah ancaman nan kudu diantisipasi pemerintah mengenai penerapan kebijakan ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi rumah sakit misalnya, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi menilai mau tak mau tempat tidur di RS bisa berkurang imbas adanya pemberlakuan KRIS.
Ia mengatakan RS swasta anggotanya sudah bersiap memenuhi 12 kriteria kelas standar. Salah satu nan diatur adalah maksimal 4 tempat tidur dalam satu ruangan untuk rawat inap dengan jarak antar-tepi minimal 1,5 meter.
"Karena maksimal 4 tidur, nan tadinya 5 tempat tidur-6 tempat tidur, dikurangi. Artinya bakal ada penurunan jumlah tempat tidur di rumah sakit tersebut," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/5).
"Ataupun misal jarak antar-tempat tidur tidak terpenuhi (minimal 1,5 meter), akhirnya nan tadinya 4 tempat tidur bisa berubah jadi 3 tempat tidur," sambung Iing.
Lebih rinci, 12 kriteria itu ialah komponen gedung nan digunakan tidak mempunyai tingkat porositas nan tinggi, ventilasi udara, dan pencahayaan ruangan.
Lalu, kelengkapan tempat tidur, adanya nakes per tempat tidur, temperatur ruangan, serta ruang rawat dibagi berasas jenis kelamin, anak alias dewasa, serta penyakit jangkitan alias noninfeksi.
Kemudian, kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, tirai/partisi antar tempat tidur, bilik mandi dalam ruangan rawat inap, bilik mandi memenuhi standar aksesibilitas, dan outlet oksigen.
Iing menekankan bakal ada akibat dari penerapan 12 kriteria tersebut. Itu meliputi akibat dalam aspek biaya, investasi, hingga penurunan jumlah tempat tidur.
"Kecuali, rumah sakit nan membangun akomodasi baru untuk menambah tempat tidur," ucapnya.
Meski begitu, Iing mengatakan lebih dari 70 persen RS personil ARSSI siap menjalankan kelas standar tersebut. Namun, dia memberikan beberapa catatan utama.
Pertama, dia menegaskan meski kebanyakan siap, keahlian setiap RS swasta berbeda. Kedua, Iing mempertanyakan soal tarif nan bakal diberlakukan dalam KRIS.
"Kalau kelak KRIS diberlakukan, dibayarnya di tarif nan mana nih? Kalau sudah murni bertindak kelas standar (KRIS), tarifnya ini nan mana? Ini nan perlu ada patokan turunannya," tutur Iing.
[Gambas:Video CNN]
"Kami mengharapkan tentunya begitu kelas standar, inginnya (menggunakan) tarif di kelas 1," pintanya.
Ketiga, Iing mempertanyakan patokan jika seseorang mau naik kelas. Ia meminta adanya kejelasan patokan koordinasi faedah KRIS mengenai pihak nan mau naik kelas perawatan dari satu ruangan berisi 4 tempat tidur menjadi 1 tempat tidur-2 tempat tidur saja.
"Terakhir (keempat), ini perlu sosialisasi kepada para peserta BPJS agar mereka juga mengerti apa nan dimaksud dengan kelas standar ini," ujar Iing.
Setali tiga uang, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar memandang penyelenggaraan KRIS bakal bermasalah untuk peserta agunan kesehatan nasional (JKN). Bahkan, patokan soal kelas standar dianggap malah kontraproduktif.
Timboel ikut menyoroti potensi single tariff nan bakal muncul. Ia menduga iuran kelas 1 dan 2 bakal turun, sedangkan peserta BPJS Kesehatan kelas 3 'dipaksa' bayar lebih.
Ia memprediksi kisaran iuran tunggal ini berada di rentang Rp42 ribu hingga Rp100 ribu per bulan. Dengan rentang tersebut, Timboel mewanti-wanti ancaman penurunan pendapatan dari iuran, serta di sisi lain potensi masyarakat miskin menunggak makin besar.
"Misalnya, ditetapkan Rp75 ribu (per bulan), maka peserta kelas 1 nan tadinya bayar Rp150 ribu bakal menjadi Rp75 ribu dan nan Rp100 ribu (kelas 2) bakal turun. Ini artinya ada potensi penurunan pendapatan iuran. Sementara kelas 3 nan saat ini bayar Rp35 ribu bakal naik," jelasnya.
"Artinya, peserta kelas 3 bakal semakin susah bayar iuran dan menjadi menunggak iuran nan hasilnya tidak mendapat jasa JKN. Saat ini saja nan iurannya Rp35 ribu tetap banyak nan nunggak, dengan naik iuran maka bakal semakin banyak nan menunggak," tambah Timboel.
Selain ancaman defisit finansial nan berujung penelantaran kesehatan masyarakat, ada ancaman lain. Timboel menyebut mereka nan selama ini berada di kelas 1 dan kelas 2 bakal merasa tidak puas dengan pelayanan KRIS.
Hal lebih parah muncul dari ketidakpastian ruang perawatan. Menurutnya, kehadiran kelas standar malah berpotensi menghalang akses ruang perawatan bagi peserta JKN.
Timboel mengutip pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan nan menyebut alokasi ruang perawatan KRIS di RS swasta minimal 40 persen. Sedangkan di rumah sakit pemerintah paling sedikit 60 persen untuk rawat inap kelas standar dan sisanya bagi pasien umum.
"Ini artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS. Saat ini saja, di mana ruang perawatan kelas 1, 2, dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN tetap terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan. Apalagi kelak dengan KRIS, bakal terjadi ketidakpuasan jasa peserta JKN," jelas Timboel.
Ia menegaskan tidak boleh ada lagi peserta JKN nan susah mengakses ruang perawatan. Bahkan, menurutnya pemerintah dan BPJS Kesehatan bertanggung jawab mencari rujukan tempat perawatan bagi pasien nan tak ter-cover di salah satu rumah sakit.
Sayang, klausul soal agunan support tersebut tak ada di perpres terbaru. Ia menegaskan semestinya pemerintah mengakomodasi perihal tersebut dengan ambulans nan dibiayai JKN.
Ia berambisi support pemerintah dan BPJS atas masalah pasien di RS bisa diatur dalam peraturan menteri kesehatan (permenkes) nan disebut segera terbit. Timboel menekankan jangan sampai masyarakat dan keluarganya dibuat kelimpungan sendiri mencari rumah sakit nan bisa merawat mereka.
"Saya berambisi di permenkes disebutkan secara definitif sehingga pemerintah dan BPJS Kesehatan betul-betul menjamin pasien JKN mudah mengakses ruang perawatan KRIS," tutupnya.
(skt/mrh)