Daftar Pelajaran Berharga dari Tutup Pabrik Sepatu Bata

Sedang Trending 4 bulan yang lalu

Jakarta, CNN Indonesia --

Bagai menimba air dengan keranjang. Rasanya, peribahasa ini cukup menggambar apa nan terjadi pada PT Sepatu Bata Tbk; segala sesuatu nan dikerjakan dengan tidak sesuai bakal berbuah sia-sia.

Produsen sepatu legendaris nan sudah ada di Tanah Air sejak 1931 itu terus merugi hingga penutup operasional pabrik di Purwakarta, Jawa Barat per 30 April 2024.

Corporate Secretary Sepatu Bata Hatta Tutuko menuturkan pihaknya telah melakukan beragam upaya selama empat tahun terakhir di tengah kerugian dan tantangan industri akibat pandemi Covid-19. Di satu sisi, perubahan perilaku konsumen nan begitu sigap juga menjadi tantangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, permintaan pengguna terhadap jenis produk nan dibuat di pabrik Purwakarta terus menurun. Karenanya, perseroan pun tak mau kembali melempar dadu dengan menutup pabrik.

"Dengan adanya keputusan ini, maka perseroan tidak dapat melanjutkan produksi di pabrik Purwakarta," katanya seperti dikutip dari keterbukaan info Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (3/5).

Kendati demikian, dia tak merinci berapa kerugian nan diderita oleh perusahaan. Hatta hanya mengatakan kapabilitas produksi pabrik jauh melampaui kebutuhan nan bisa diperoleh secara berkepanjangan dari pemasok lokal di Indonesia.

Penutupan pabrik di Purwakarta itu pun membikin 233 tenaga kerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Di satu sisi, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menilai penutupan dilakukan lantaran perusahaan berupaya untuk membenahi perusahaan nan merugi akibat pembengkakan beban operasional.

"Dia (Bata), boleh saya sampaikan sedang melakukan upaya transformasi digitalisasi dan mereka meng-adjust aktivitas bisnisnya untuk lebih efisien," ujarnya.

Ia menambahkan perusahaan sebenarnya sudah menjual sebagian aset untuk memperkuat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kondisi perusahaan tak juga membaik sehingga mereka memutuskan untuk menutup pabrik.

Kendati, Pengamat marketing sekaligus Managing Partner Inventure Yuswohady menilai tutupnya pabrik sepatu Bata di Purwakarta tak sesederhana itu. Ia menuturkan sejak 1990 an sejatinya brand asal Cekoslowakia ini sudah mengalami penuaan sistematis lantaran kurang lincah merespons perubahan.

Padahal, Bata sebagai dunia brand mengalami brand localization; jatuh dipersepsi sebagai brand lokal. Keuntungannya, Bata menjadi dekat dengan masyarakat Indonesia.

Namun kerugiannya fatal, ialah persepsi kualitas dan image-nya jatuh dianggap brand medioker.

"Awalnya brand ini dunia tapi melokal. Itu sebenarnya bagus, tapi dalam kasus Bata, malah segemennya menjadi menengah bawah," kata Yuswohady kepada CNNIndonesia.com, Senin (13/5).

Yuswohady pun menilai Bata telah babak-belur oleh terjangan triple disruption, yakni; digital, millennial, dan pandemic disruption.

Ia menjelaskan terkait digital disruption, Bata terlambat dan terlalu lamban melakukan digitalisasi proses operasinya.

Padahal di sisi mereka, telah muncul pemain-pemain UKM alias brand lokal nan fresh dan agile. Yuswohady mencontohkan brand ini seperti Compass, Brodo, hingga Aero Street yg lincah memanfaatkan teknologi digital untuk membangun daya saing.

"Pemain-pemain agile ini begitu lincah memanfaatkan digital channel, digital community, FOMO, hingga virality untuk mencuri pangsa pasar. Pemain jadul (zaman dulu) seperti Bata pun tergusur," jelasnya.

Lalu, mengenai disrupsi milenial Yuswohady mengatakan Bata juga kandas mengerti merespons perubahan perilaku dan preferensi konsumen muda milenial/zilenial.

Menurutnya, generasi konsumen baru ini sejak 10 tahun terakhir masif melibas konsumen gen-X dan boomers nan merupakan pasar utama Bata. Ia juga beranggapan perusahaan nan didirikan oleh Tomas Anna dan Antonin Bata itu tak bisa memanfaatkan tren besar 'sneakers wave'.

Tren di mana milenial/zilenial beramai-ramai menggandrungi sneakers.

"Ketika Bata tak bisa mengkaderisasi konsumen, dan konsumen itu meninggalkan dia, maka dia mau tidak mau bakal tak relevan dengan generasi itu sehingga dia kehilangan pedoman konsumen," ujar Yuswohady.

Selanjutnya, mengenai pandemi disruption, Bata terkena pukulan nan kian telak saat pagebluk itu melanda pada 2020 lalu.

Maklum, pedoman penjualan Bata kebanyakan tetap pada gerai alias toko-toko offline. Di sisi lain, gerai-gerai itu kebanyakan berada di second city alias wilayah nan menjadi penyangga kota Besar.

"Karena Bata banyak chanelnya fisik, maka ketika pendemi datang 2020, ketika orang tidak ke toko, maka penjualannya drop. Makanya empat tahun berturut-turut merugi," tutur Yuswohady.

Klaim Yuswohady itu tak asal-asalan. Lihat saja, berasas laporan finansial tahunan perusahaan, Bata mengalami kerugian ratusan miliar rupiah sejak 2019.

Penjualan perseroan Bata ambruk 49 persen dari Rp931,27 miliar pada 2019 menjadi Rp459,58 miliar pada 2020. Hal itu membikin kerugian tahun melangkah Bata nan 2019 hanya Rp23,44 miliar melonjak ke nomor Rp177,76 miliar pada 2020.

Sedangkan pada 2023 Bata mencatatkan rugi upaya sebesar Rp148,3 miliar, sehingga perusahaan mencatatkan rugi tahun melangkah sebesar Rp190,6 miliar. Kerugian nan dialami di tahun itu terutama disebabkan oleh impairment terhadap aset tetap dan persediaan peralatan nan sudah masuk masa aging.

Selain merugi, Bata juga mulai memangkas produksi sepatu ataupun sandal dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, perusahaan memproduksi 1.578.000 juta pasang sepatu/sandal. Lalu pada 2023 perusahaan hanya memproduksi 1.153.000 pasang.

"Bata adalah kisah tragis sungguh brand dunia nan dahsyat sekalipun akhirnya terpuruk ketika dia tak agile, adaptif, dan relevan," kata Yuswohady.

Berkaca dari kasus Bata itu, dia pun mengatakan tak menutup kemungkinan perihal serupa bisa menimpa brand-brand besar lainnya di Tanah Air. Oleh lantaran itu, mereka kudu bisa mengambil pelajaran.

Pelajaran itu seperti brand kudu selalu adaptif dengan era dan perilaku konsumen. Apalagi, di era digitalisasi dan media sosial seperti saat ini muncul-tenggelam sebuah brand makin cepat.

"Jadi hati-hati brand nan legendaris. Itu brand meski sudah lama, termasuk Bata, dengan konsumen milenial nan mudah bosan, mereka (brand) bisa saja tidak relevan dengan generasi baru," katanya.


Sumber cnnindonesia.com
cnnindonesia.com