Jakarta, CNN Indonesia --
Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) menuai sorotan dan kritik publik dalam sepekan dua pekan belakangan ini.
Terbaru, Kepala Bea Cukai Purwakarta Rahmady Effendi Hutahaean dicopot oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) usai dirinya dilaporkan atas dugaan tak menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dengan benar.
Kasus ini pun membikin masyarakat kembali terkenang bakal sejumlah kasus nan menyangkut pegawai Bea Cukai lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, beberapa pejabat Bea Cukai sempat dipecat hingga ditahan dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian duit (TPPU).
Berikut daftar pegawai bea cukai nan sempat tersandung kasus:
1. Rahmady Effendi Hutahaean
Kepala Bea Cukai Purwakarta Rahmady Effendi Hutahaean dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh pengacara dari Eternity Global Law Firm Andreas atas dugaan tidak menyampaikan LHKPN secara benar.
Tim pengacara ini merupakan kuasa norma Wijanto Tirtasana, pengusaha nan pernah punya upaya berbareng dengan Rahmady.
Andreas menduga Rahmady tidak memasukkan seluruh kekayaan kekayaan miliknya di LHKPN. Dugaan itu bermulai dari pinjaman duit dari Rahmady ke Wijanto untuk berbisnis ekspor impor pupuk pada 2017 di bawah bendera PT Mitra Cipta Agro (PT MCA).
Wijanto pun mendapat pinjaman duit senilai Rp7 miliar dari Rahmady dengan syarat agar istri Rahmady dijadikan komisaris utama dan memegang saham 40 persen alias sekitar Rp24 miliar dari total aset perusahaan nan senilai Rp60 miliar.
Namun dalam perjalanannya, Rahmady disebut tak memasukkan pinjaman duit tersebut ke LHKPN. Pada LHKPN 2017, Rahmady melaporkan kekayaannya sebesar Rp3,2 miliar. Bahkan dalam LHKPN 2022, pejabat Bea Cukai itu melaporkan total hartanya hanya Rp6,3 miliar.
Sementara itu, Rahmady sendiri telah membantah tudingan tersebut. Ia mengaku sangat dirugikan dengan tuduhan nan dilontarkan Wijanto. Menurutnya, tuduhan itu merupakan pemutarbalikan kebenaran sehingga pemberitaan di media massa sarat dengan fitnah.
Ia pun telah dibebastugaskan oleh Kemenkeu usai diperiksa secara internal. Hasil pemeriksaan menemukan terjadinya tumbukan kepentingan nan juga turut melibatkan family nan bersangkutan.
2. Andhi Pramono
Mantan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono divonis dengan pidana 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan setelah terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp58,9 miliar.
Andhi diduga tak hanya menerima gratifikasi dalam pecahan rupiah, tetapi juga dalam corak mata duit asing. Di antaranya US$264.500 alias setara Rp3.800.871.000 serta 409 ribu dolar Singapura alias setara Rp4.886.970.000. Jika diakumulasi, jumlah gratifikasi nan diterima Andhi senilai Rp58.974.116.189.
Tindak pidana ini terjadi sepanjang periode 2012 sampai dengan 2023 saat Andhi menjabat sebagai Pj Kepala Seksi Penindakan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Riau dan Sumatera Barat pada 2009-2012.
Kemudian Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai V Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean (PMB) B Palembang tahun 2012-2016.
Selain itu Kepala KPPBC TMP B Teluk Bayur 2016-2017; Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai pada Kantor Wilayah Ditjen Bea dan Cukai Jakarta tahun 2017-2021; dan Kepala KPPBC TMP B Makassar 2021-2023.
Atas perbuatannya, Andhi didakwa melanggar Pasal 12 B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
3. Eko Darmanto
Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto ditahan interogator KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU.
Eko diduga telah menerima gratifikasi sebesar Rp18 miliar dengan memanfaatkan jabatannya di DJBC Kemenkeu.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menerangkan Eko adalah interogator pegawai negeri sipil (PPNS) pada DJBC Kemenkeu nan pernah menduduki sejumlah kedudukan selama periode 2007-2023.
Beberapa kedudukan strategisnya di antaranya Kepala Bidang Penindakan, Pengawasan, Pelayanan Bea dan Cukai Kantor Bea dan Cukai Jawa Timur I Surabaya dan Kepala Sub Direktorat Manajemen Risiko Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea dan Cukai.
Eko kemudian memanfaatkan kedudukan dan kewenangannya untuk menerima gratifikasi dari para pengusaha impor ataupun pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) hingga pengusaha peralatan kena cukai.
Menurut interogator KPK, Eko mulai menerima gratifikasi pada 2009 melalui transfer rekening bank family inti dan beragam perusahaan nan terafiliasi dengannya. Penerimaan gratifikasi ini berjalan hingga 2023.
Untuk perusahaan nan terafiliasi dengan Eko, di antaranya bergerak di bagian jual beli motor Harley Davidson dan mobil antik serta nan bergerak di bagian bangunan dan pengadaan sarana pendukung jalan tol.
Berbagai penerimaan gratifikasi tersebut tidak pernah dilaporkan Eko ke KPK setelah menerima gratifikasi dalam waktu 30 hari kerja.
Atas perbuatannya, Eko disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
[Gambas:Video CNN]
(del/agt)